“I have always imagined that Paradise will be a kind of library.”
(Saya selalu membayangkan kalau Surga seperti sebuah perpustakaan). ― Jorge Luis Borges
Bangunan empat lantai dengan gaya arsitektur klasik Renaisans ini berdiri tepat di tengah-tengah Universitas Missouri. Warna batu putih mendominasi dinding. Tiang kolon Ionik berbahan batu putih menyangga keempat sisi lantai bangunan dengan kokoh. Langit-langitnya menjulang tinggi. Jendela-jendela besar menghiasi sisi barat dan timur bangunan, membuatnya nampak megah dan grande. Dibagian depan, tepat di sisi pintu masuk, terdapat nama bangunan.
Namanya Ellis Library. Nama ini diambil dari nama presiden keempat belas Universitas Missouri, Dr. Elmer Ellis, sebagai penghargaan atas jasanya mengembangkan Universitas Missouri sebagai induk organisasi University of Missouri System. Gedung perpustakaan milik Universitas Missouri ini berdiri sejak 1915. Tahun ini, 2015, Ellis Library memperingati ulang tahunnya yang ke 100, ditandai dengan diadakannya serangkaian acara Ellis Library Centennial Celebration 1915-2015.
Bangunan besar Ellis Library terdiri dari empat lantai. Di lantai dasar, terdapat kafetaria bernama Bookmark Cafe. Di lantai dasar juga tersimpan sejumlah koleksi buku dan koran. Di lantai 1, terdapat ruang-ruang komputer yang menyediakan akses internet secara gratis untuk mahasiswa. Ada lebih dari 100 komputer. Setiap komputer terkoneksi langsung dengan printer. Di lantai 1 juga terdapat ruang-ruang group study, yang disediakan bagi mahasiswa untuk belajar bersama. Sebuah meja bundar dan 5 buah kursi melingkar disediakan di setiap ruang group study. Pada hari-hari menjelang ujian, ruang group study bisa dipastikan dipenuhi mahasiswa yang sedang mengerjakan group project sebagai tugas akhir atau sekedar belajar bersama.
Selain itu, di lantai 1 juga terdapat printing room and scanning center. Mahasiswa bisa mencetak dokumen, tugas dan makalah atau men-scan dokumen. Di salah satu sisi ruangan lantai 1, terdapat ruangan Writing Center, tempat mahasiswa bisa meminta bantuan untuk tugas-tugas menulis paper atau makalah. Biasanya, mahasiswa asing menjadi pelanggan ruangan Writing Center.
Di salah satu sudut dinding lantai 1 berjajar plakat-plakat penghargaan terbuat dari perunggu berukuran 25 cm x 30 cm. Plakat-plakat itu berisi nama-nama donatur pemberi sumbangan untuk Ellis Library. Ya, gedung-gedung di kampus-kampus Amerika memang tidak sedikit yang dibangun dengan dana dari donatur. Kebanyakan donatur adalah para alumni. Biasanya, nama donatur kemudian diabadikan menjadi nama bangunan atau nama salah satu ruangan di dalam gedung tersebut.
Lantai 2 dan 3 Ellis Library digunakan untuk penyimpanan koleksi perpustakaan dan ruang-ruang belajar mandiri. Quiet Room, begitu ruangan belajar mandiri ini biasa disebut, seringkali dipenuhi mahasiswa menjelang masa-masa ujian semester.
Ellis Library memiliki koleksi lebih dari 3 juta buku cetak, 6 juta micro film serta berbagai sumber referensi lain. Perpustakaan utama di kampus Universitas Missouri ini juga memiliki akses untuk 33.000 judul jurnal, baik cetak maupun elektronik, ribuan dokumen pemerintah federal dan negara bagian, koleksi buku-buku terbatas, serta koleksi rekaman (berupa CD, kaset, video, dan DVD).
Jam buka perpustakaan di Ellis Library sangat memanjakan mahasiswa. Tidak seperti di Indonesia, Ellis Library buka hingga 24 jam. Mahasiswa bisa belajar atau mengerjakan tugas hingga larut malam, dini hari atau bahkan bisa tidur di perpustakaan.
Batas peminjaman buku pun sungguh merangsang mahasiswa untuk membaca. Setiap mahasiswa bisa meminjam buku hingga 30 buku, dengan batas peminjaman 1 bulan untuk mahasiswa S-1 dan 4 bulan untuk mahasiswa S-2. Jika buku yang ingin dipinjam tidak tersedia di Ellis Library, sang librarian akan membantu meminjamkan buku dari perpustakaan lain melalui Mobius (sebuah sistem pinjam-buku antar universitas), tanpa biaya. Begitu buku yang dipinjam tiba, kita tinggal mengambil di Ellis Library.
Ellis Library tidak cuma menjadi tempat yang nyaman untuk membaca dan belajar. Ia juga menjadi tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu di kampus. Ruangan dengan pendingin dan pemanas udara, kursi-kursi sofa empuk, kafe yang cozy untuk sesaat ngobrol, ruangan multimedia, komputer gratis, surat kabar gratis dan internet gratis membuat mahasiswa betah berlama-lama berada di perpustakaan.
Gedung perpustakaan semestinya memang menjadi tempat yang paling nyaman dan paling menyenangkan di kampus. Ia menjadi simbol sekaligus bukti aktivitas keilmuan di lembaga pendidikan tinggi. Perpustakaan yang nyaman dan menyenangkan tentu akan mendorong mahasiswa untuk gemar membaca dan belajar.
Sayangnya, politik anggaran perguruan tinggi di Indonesia sepertinya masih lebih mengutamakan kenyamanan gedung rektorat atau auditorium. Di Indonesia, bangunan rektorat atau auditorium seringkali menjadi tempat yang paling megah, indah dan nyaman. Kampus-kampus di negeri kita seolah berlomba menampilkan kemegahan gedung rektorat atau auditorium sebagai simbol kehebatan, kejumawaan.
Sementara, dan ironisnya, gedung perpustakaan dibiarkan terlantar dan berdebu. Tanpa pendingin ruangan. Tanpa kursi-kursi yang nyaman untuk diduduki. Tanpa ruang belajar yang memadai. Tanpa pelayanan yang ramah. Koleksi buku dan jurnal pun seringkali kedaluarsa, tertinggal bertahun-tahun di belakang.
Perpustakaan, bangunan yang semestinya menjadi pusat keilmuan dan peradaban itu, di negeri kita, kesepian. Diabaikan. Diremehkan.
Photo credit: Libraryguides.missouri.edu
Saidilriza Muda
Sangat setuju bung Medhy..Universitas yg baik seharusnya lebih mempriotaskan librarynya daripada gedung rektorat atau balairungnya yg megah..karena library lah gudang ilmu pengetahuan dan dipermudah akses untuk setiap orang dan beragam usia dari anak2 sampai orang yg sudah sepuh sekalipun..sebenarnya belajar atau mengerjakan assignment bisa lebih efektif dengan menggunakan fasilitas quiet room di library dibandingkan di rumah atau diapartment karena tidak ada gangguan tv , telfon, dlsb.
Medhy Hidayat
Masih banyak PR di negeri kita, Mas. 🙂