Mohamed Bouazizi meninggal dengan membakar diri.
Hari itu, Sabtu sore menjelang senja, 18 Desember 2010, gelombang besar demonstrasi menggelayut di Tunisia. Kabar kematian Bouazizi – yang membakar diri sebagai protes atas tindakan polisi yang mengambil barang-barang dagangan di toko sayur kecil miliknya – menyebar dengan cepat lewat Facebook dan menjadi pemantik luapan kemarahan rakyat Tunisia atas bobroknya pemerintah negara mereka.
Sejak hari itu massa menyemut – sebagian besar anak muda – di jalanan pusat kota Tunis nyaris tanpa henti. Tanggal 14 Januari 2011, revolusi rakyat Tunisia berhasil menumbangkan rezim pemerintahan Ben Ali.
Laksana virus, revolusi rakyat Tunisia dengan cepat menular ke negara-negara lain di jazirah Arab. Di Mesir, video insiden penganiayaan Khaled Said oleh polisi yang menyebar di YouTube menjadi awal kebangkitan perlawanan rakyat Mesir terhadap rezim Hosni Mubarak.
Sesaat setelah video Said menyebar, Wael Ghonim, seorang eksekutif Google berkebangsaan Mesir, membuat halaman Facebook Page “We Are All Khaled Said.” Hanya dalam dua hari, halaman Facebook tersebut mendapat 470,000 anggota. Melalui Twitter, Ghonim juga membuat tagar “Pray for #Egypt” sebagai bentuk penghormatan terhadap Said.
Pada saat yang sama, Asmaa Mahfouz, seorang aktivis perempuan Mesir mengunggah video ajakan demonstrasi di Tahrir Square melalui Youtube. Ia juga meng-update status Facebook dengan pesan yang sama: “People, I am going to Tahrir Square”.
Youtube, Facebook dan Twitter dengan cepat menyampaikan pesan rencana aksi rakyat Mesir. Seminggu kemudian, 25 Januari 2011, aksi demonstrasi besar-besaran pertama di Mesir terjadi di Tahrir Square. Sejarah kemudian kembali mencatat, 10 Februari 2011, rakyat Mesir berhasil mengakhiri rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak.
Revolusi rakyat di jazirah Arab – yang kemudian dikenal dengan sebutan Arab Spring – selanjutnya menjalar ke Lybia, Yaman, Bahrain dan Syiria. Di Lybia, Presiden Moammar Khadafi harus menerima nasib buruk menemui ajal di tangan rakyatnya sendiri. Di Yaman, Presiden Ali Abdullah Saleh dipaksa untuk menyerahkan jabatan kepada wakilnya, Abdullah Mansur Alhadi. Di Bahrain, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa terpaksa harus memberlakukan kondisi darurat militer selama tiga bulan untuk meredam gelombang demonstrasi rakyat. Di Syiria, Presiden Bashar Al-Assad – bahkan hingga hari ini – dipaksa untuk menggunakan kekerasan menghadapi demonstran yang menuntut agar ia segera meletakkan kekuasaan.
Occupy Wall Street
Ribuan orang meneriakkan slogan “We Are the 99%” di Zuccotti Park, Wall Street, New York, jantung aktivitas finansial Amerika Serikat. Hari Sabtu, 17 September 2011, gelombang demonstrasi besar-besaran yang dimotori oleh gerakan Occupy Wall Street (OWS) dimulai dari pendudukan Zuccotti Park. Seperti slogan yang terus diuarkan, gerakan sosial ini mengkritik semakin besarnya jurang perbedaan antara si kaya dan miskin di negara kiblat kapitalisme tersebut.
Ribuan orang bergabung – mahasiswa, dosen, serikat pekerja, anggota kongres, artis, aktivis gerakan sosial, praktisi bisnis – dan mendirikan tenda-tenda di Zuccotti Park. Pendudukan Zuccotti Park oleh Occupy Wall Street segera menjadi headline pemberitaan: inilah momentum perlawanan terhadap kapitalisme di negara kiblat kapitalisme sendiri.
Yang menarik, gerakan Occupy Wall Street mengadopsi strategi Arab Spring dalam memanfaatkan media sosial. Semua berawal dari sebuah artikel yang diposting pada 13 Juli 2011 di majalah online AdBusters. Lembaga nirlaba ini melontarkan ide pendudukan kawasan Wall Street sebagai simbol perlawanan terhadap kuatnya pengaruh dunia bisnis terhadap kebijakan pemerintah.
Tiga hari kemudian, Micah White, editor senior AdBusters, mengirim surat ajakan aksi kepada semua kontak yang dimiliki AdBusters Foundation. Laksana gayung bersambut, ajakan White mendapat sambutan luar biasa.
Tanggal 19 September 2011, sebuah halaman Facebook dengan nama Occupy Wall Street dan akun Twitter dengan nama @OccupyWallSt mulai dibuat sebagai kanal komunikasi. Dalam waktu singkat, Facebook dan Twitter mulai menyebarkan ajakan demonstrasi di seluruh penjuru Amerika Serikat. Hingga saat ini, gerakan sosial Occupy Wall Street telah berlangsung di 100 kota di Amerika Serikat dan lebih dari 1000 kota di seluruh penjuru dunia.
Media Sosial dan Gerakan Sosial Baru
Arab Spring dan Occupy Wall Street hanyalah dua contoh gerakan sosial baru yang dengan piawai memanfaatkan kekuatan media sosial. Arab Spring bahkan banyak disebut oleh media sebagai “The First Social Media Revolution.” Meskipun terkesan berlebihan, tak pelak harus diakui bahwa media sosial – terutama Facebook dan Twitter – memegang peran cukup penting dalam peristiwa bersejarah tersebut.
Setidaknya terdapat tiga peran penting yang dimainkan oleh media sosial dalam gerakan sosial kontemporer.
Pertama, media sosial – terutama Facebook, Twitter dan Youtube – menjadi media komunikasi utama yang digunakan dalam gerakan sosial baru. Pesan yang diposting seminggu sebelum aksi demonstrasi 25 Januari 2011 di Tahrir Square Mesir misalnya, muncul pertama kali di Facebook: “Message to the people of Egypt: Let the January 25 is the torch of change in Egypt.”
Kedua, media sosial menjadi alternatif kanal penyebaran isu ketika media massa tradisional – koran, majalah, radio, televisi – dibungkam oleh rezim negara. Berita revolusi rakyat Tunisia yang menjadi inspirasi anak-anak muda Mesir misalnya, banyak diperoleh melalui Facebook dan Twitter alih-alih melalui koran atau televisi.
Ketiga, media sosial terbukti ampuh digunakan dalam mobilisasi massa. Kapan dan dimana demonstrasi dilakukan, siapa saja yang terlibat, hingga laporan pandangan mata secara streaming membuat gerakan sosial kontemporer menjadi lebih efektif dilakukan. Lebih jauh, media sosial memungkinkan informasi disampaikan secara cepat dan berulang-ulang dan menciptakan “density of information” dan “density of emotion,” dua hal yang berperan penting dalam gerakan sosial baru.
Tak pelak, dan harus diakui, media sosial adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan sosial baru. Anak-anak muda di Mesir memanfaatkan Facebook, Twitter dan Youtube sebagai alat mobilisasi massa dalam aksi melawan rezim otoriter korup di negaranya. Anak-anak muda yang menggerakkan Occupy Wall Street juga menggunakan Facebook dan Twitter untuk menyatukan berbagai lapisan masyarakat yang jengah dengan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang kaya di negara mereka.
Berbagai gerakan sosial baru yang dilakukan belakangan, mulai dari #UmbrellaMovement di Hongkong, #IllRidewithYou di Australia, gerakan #IndonesiaMengajar di Indonesia hingga #IceBucketChallenge yang menyebar ke seluruh dunia, kemudian mengikuti dengan mengintegrasikan media sosial dalam agenda utama gerakan mereka. Bagi para aktivis gerakan sosial baru ini, media sosial adalah “the new tools for social goods.”
Bagaimana dengan kita? Apa yang kita lakukan dengan media sosial?
Photo credit: Liveoakcommunications.com
Leave a Reply