“Disamping pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia adalah tubuhmu” – Friedrich Nietzsche

Secara historis, kajian tentang tubuh mengalami pasang surut seiring berjalannya waktu. Tubuh dipahami bukan semata-mata sebagai jasad, yang kasat mata, namun sebagai produk konstruksi sosial yang senantiasa berubah-ubah mengikuti pandangan masyarakat dan waktu tertentu. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, tubuh juga selalu dipertentangkan dengan pikiran ataupun jiwa sebagai instrumen yang lebih utama dalam diri manusia. Semenjak zaman Yunani Kuno hingga sekarang, perdebatan klasik tersebut terus berlangsung tanpa ada titik akhir.

Dalam leksikon sosiologi, diskusi tentang tubuh baru muncul pada kurun waktu tahun 1980-an. Sebelumnya, kajian secara serius mengenai tubuh lebih banyak dilakukan oleh para antropolog. Sosiologi klasik maupun modern hanya membicarakan persoalan tubuh sebagai satu bagian kecil dari sejumlah aspek kehidupan sosial. Baru pada abad keduapuluh tema tubuh menjadi titik pusat perhatian secara serius dalam diskursus sosiologi.

Merujuk Bryan S. Turner, lahirnya kajian sosiologis tentang tubuh setidaknya didorong oleh sejumlah faktor. Pertama, adanya pengaruh sosial dan politik gerakan feminisme di dunia akademik maupun masyarakat secara umum. Perdebatan seputar gender, seksualitas, dan eksploitasi tubuh perempuan dalam media misalnya telah melahirkan keprihatinan yang mendalam terhadap perlunya kajian tentang tubuh.

Kedua, maraknya perdebatan etik diseputar persoalan penerapan teknologi medis bayi tabung, perkembangan virtual reality, serta penggunaan cyborg untuk kepentingan militer maupun industri. Perkembangan teknologi biomedis dan informatika ini mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sebenarnya tubuh, bagaimanakah proses pembentukannya dan dimanakah batas-batas etika tubuh manusia.

Ketiga, munculnya perkembangan paham estetika tubuh dalam realitas kebudayaan konsumer. Budaya konsumer, yang didorong oleh logika kapitalisme, telah memposisikan tubuh sebagai semata komoditi dan objek produk industri kosmetik. Estetika tubuh kini menjadi tujuan aktivitas individu modern misalnya dengan teknologi bedah plastik, silicon breast, senam body language, body building dan fitness center sebagai lokomotif utamanya. Dalam kerangka inilah tubuh mendapat perhatian secara serius, terutama mengenai persoalan apakah makna estetikasi bagi tubuh tersebut.

Ranah kajian sosiologi tubuh selanjutnya berkembang dalam tiga wilayah utama. Pertama, kajian tentang makna simbolik tubuh sebagai metafor dalam hubungan sosial. Persoalan kesucian dan profanitas tubuh sebagai representasi struktur sosial, konstruksi citra tubuh laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, serta makna simbolik bagian-bagian tubuh dalam masyarakat merupakan sejumlah topik yang dibicarakan dalam ranah ini.

Kedua, kajian tentang tubuh dalam hubungannya dengan persoalan gender dan seksualitas. Karya-karya Julia Kristeva dan Donna Haraway yang banyak mendapat inspirasi dari tulisan-tulisan Michel Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas, misalnya, mencoba melacak proses pembentukan konstruksi tubuh perempuan melalui fashion, media dan mitos.

Ketiga, kajian biomedis, yang membahas persoalan tubuh dalam kaitannya dengan isu-isu medis. Dalam ranah ini, sosiologi tubuh berperan memberikan batasan dan analisis mengenai fenomena-fenomena medis seperti penyakit, kegilaan dan obat-obatan dalam kerangka konstruksi sosial yang membentuknya.

Menurut sosiolog Anthony Synnott dalam bukunya The Body Social: Symbolism, Self and Society (1993), sosiologi tubuh adalah wilayah disiplin sosiologi yang mempelajari bagaimana kita memahami tubuh, bagaimana kita mendiami tubuh, dan bagaimana kita mempergunakan tubuh dalam hubungan pribadi dan sosial.

Dalam kebudayaan Yunani Kuno, tubuh mendapat dua sisi perhatian. Para pematung, pelukis dan penyair Yunani mengolah tubuh sebagai sumber inspirasi karya-karya mereka. Ajang olahraga Olimpiade yang juga lahir di Yunani semenjak tahun 776 SM begitu mengagung-agungkan kekuatan dan keperkasaan tubuh (kaum laki-laki). Namun demikian, pandangan negatif mengenai tubuh pada zaman ini lebih dominan. Plato misalnya, memandang tubuh sebagai penjara jiwa manusia. Ia mengatakan bahwa manusia harus berusaha melepaskan diri dari belenggu penjara tubuh agar dapat bebas menuju kesempurnaan jiwa. Tubuh bagi Plato dan pengikutnya, terutama Aristoteles dan Epikurus, adalah penghalang menuju keagungan dan kebahagiaan abadi.

Meskipun terjadi perdebatan sengit mengenai peran dan kedudukan tubuh dan pikiran, peradaban Yunani Kuno dikenang sebagai era yang memberikan makna khusus bagi tubuh. Sementara itu, kebudayaan Romawi memandang tubuh sebagai pembatas jiwa yang mewujud. Mengikuti pandangan Plato, para filsuf Romawi menyebut jiwa sebagai bagian roh Tuhan dan tubuh sebagai bagian roh hewan. Tubuh dengan demikian harus ditinggalkan bila hendak mencapai kesempurnaan hidup surgawi.

Pandangan mengenai tubuh mulai mengalami pergeseran pada era Renaisans. Pada kurun ini tubuh mendapatkan pemahaman positif dalam arti yang sesungguhnya. Para seniman, filsuf dan sastrawan Renaisans kembali menengok pandangan para seniman Yunani Kuno yang mengagung-agungkan tubuh. Lebih jauh, pandangan asketis tentang tubuh yang selama ini diyakini mulai digantikan oleh pandangan baru: tubuh sebagai sesuatu yang sekuler, tubuh yang indah, personal dan privat.

Sejarah tubuh terus bergulir seiring berjalannya waktu. Peradaban modern yang diawali dengan Pencerahan selanjutnya memahami tubuh sebagai mesin. Rene Descartes misalnya, menganalogikan tubuh sebagai sebuah jam yang bergerak tanpa pikiran. Prinsip-prinsip mekanik diberlakukan pada tubuh, sementara roh Ketuhanan diberlakukan pada pikiran. Marx dan Engels secara mendalam meneliti proses mekanisasi, animalisasi dan destruksi tubuh kaum pekerja pada permulaan perkembangan kapitalisme modern. Di dalam pabrik, menurut Marx dan Engels, pekerja tidak lebih sebagai perpanjangan fungsi mesin. Lebih jauh, mesin-mesin pabrik merupakan ancaman bagi pekerja yang akan kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh mesin. Akibatnya, tubuh hanya dipahami sebagai sebuah mekanisme yang bekerja sebagaimana mesin, yang bergerak tanpa pikiran, tanpa kehendak dan tanpa keinginan.

Pandangan mengenai tubuh sebagai mesin mendapatkan peneguhan kembali pada kurun kedua abad keduapuluh. Pada era inilah teknologi biomedis makin berkembang sehingga memungkinkan penanganan tubuh dilakukan dengan lebih baik. Dengan teknologi biomedis tubuh dijaga, dirawat dan diperbaiki sebagaimana layaknya mesin. Tubuh kini tidak lagi ditakuti, dianggap berbahaya dan perlu diawasi setiap saat, melainkan sebaliknya, dinikmati, dimanfaatkan dan digembirakan.

Tubuh mengalami rekonstruksi kembali ketika paham eksistensialisme menyatakan bahwa tubuh adalah diri. Dengan menyanggah paham dualisme Descartes, Sartre menyatakan bahwa, “Saya menghidup dalam tubuh saya. Tubuh adalah siapa saya. Saya adalah saya, sebatas tubuh saya.” Nietzsche, dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra sebelumnya juga telah mengatakan bahwa, “Disamping pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia adalah tubuhmu.”

Setiap sosiolog dalam setiap zaman memiliki pandangan berbeda-beda mengenai tubuh. Marx, seperti disebut diatas misalnya, memahami tubuh sebagai instrumen produksi, represi dan bernilai ekonomi; Maus dan Mead memandangnya sebagai media pembelajaran; Hertz dan Douglas memahami tubuh sebagai simbol masyarakat; Durkheim memahaminya sebagai instrumen pengorbanan individu kepada masyarakatnya; Weber memahami tubuh sebagai media asketisme religius; Veblen melihatnya sebagai simbol status; Simmel memandang tubuh sebagai dasar eksistensi masyarakat; Goffman memahaminya sebagai simbol diri; serta Foucault yang memandang tubuh sebagai instrumen kontrol kekuasaan sosial secara politis.

Sementara itu, tubuh dalam kebudayaan kontemporer dewasa ini dipahami sebagai sesuatu yang tidak lagi diterima apa adanya. Tubuh menjelma menjadi sesuatu yang bisa dibentuk, diubah, dimodifikasi, bahkan dipilih sesuai keinginan pemiliknya. Dengan kemajuan teknologi medis, dan cosmetic surgery, tubuh juga tidak lagi harus orisinal. Katub jantung buatan, urat darah polimer, mata elektronik, telinga dan hati implant, kini menjadi bagian tubuh kontemporer. Tubuh pun menjadi ambigu. Tubuh yang diciptakan dan dikonstruksi oleh manusia.

Tubuh dalam realitas kebudayaan populer juga seringkali dipahami sebagai media atau instrumen kenikmatan duniawi. Citra tubuh yang cantik, menarik serta seksual, seringkali dikaitkan dengan paham hedonisme, kesenangan dan penampilan yang melahirkan konsep tubuh sebagai “diri yang menampak.” Mike Featherstone menjelaskan bahwa bersama meledaknya budaya konsumer, iklan, televisi, film dan produk-produk budaya populer, tubuh kini menemukan citranya sebagai komoditi. Maraknya berbagai produk perawatan tubuh, pusat-pusat kebugaran dan sekolah-sekolah kepribadian meneguhkan premis bahwa tubuh merupakan aset atau kapital budaya.

Puncaknya, dalam masyarakat kontemporer kita, penampilan luar kini menjadi unsur utama tubuh. Identitas diri seolah ditentukan oleh penampakan luar tubuh. Seperti kata Marilyn Monroe: “The body is meant to be seen, not all covered up” (tubuh diciptakan untuk dilihat, tidak untuk ditutupi).

Itulah agaknya langgam utama kebudayaan kontemporer kita dewasa ini: aku adalah penampilan tubuhku.

Photo credit: Lilasartclasses.wordpress.com