FREEDOM House, sebuah lembaga independen pemantau demokrasi yang berbasis di Washington DC, pada 2017 merilis laporan tahunan bertajuk Freedom on the Net 2017: Manipulating Social Media to Undermine Democracy. Dalam laporan ini, Freedom House mengungkapkan temuan peningkatan praktik manipulasi penggunaan media sosial dalam pilpres di 18 negara.

Merujuk Freedom House, praktik manipulasi media sosial dalam pilpres dilakukan dengan berbagai cara. Sejumlah cara yang lazim digunakan, di antaranya dengan mencuri data pengguna media sosial, membajak akun pengguna media sosial berpengaruh, menampilkan iklan politik tertarget, hingga menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah.

Cara-cara lain yang digunakan ialah dengan memanfaatkan akun palsu (bots dan troll) untuk mengangkat isu-isu tertentu, menyensor konten opini yang berlawanan, hingga membayar buzzers dan influencers di media sosial untuk mengarahkan pilihan suara warga negara dalam pilpres.

Bahaya medsoskrasi

Ajang pilpres, termasuk di Indonesia, seharusnya menjadi perayaan demokrasi yang menggembirakan. Setiap warga negara yang memiliki hak pilih bisa terlibat dan menentukan hasil pilpres secara demokratis. Warga negara memilih secara sadar, sukarela, rasional, dan bertanggung jawab -bukan karena keterpaksaan, ketakutan, intimidasi, manipulasi, atau godaan uang.

Pilpres dalam sistem demokrasi mensyaratkan peran penting warga negara. Kekuasaan tertinggi (kratos) berada di tangan warga negara (demos), bukan di tangan segelintir orang (aristos). Prinsip-prinsip pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dibangun untuk melindungi hak-hak warga negara. Adagium demokrasi, ‘vox populi, vox dei’ (suara rakyat ialah suara Tuhan) atau ‘government of the people, by the people, for the people’ (kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat), menggambarkan betapa pentingnya peran warga negara dalam proses demokrasi yang sehat.

Pilpres dalam sistem demokrasi juga menjunjung tinggi hak pilih warga negara. Prinsip one man one vote, satu orang satu suara, benar-benar dijaga. Setiap warga negara tidak peduli apa pun latar belakang, status sosial-ekonomi atau jabatannya memiliki kedudukan yang sama ketika memilih. Kekuasaan politik diperoleh berdasarkan prinsip suara terbanyak. Siapa mendapat suara terbanyak, dialah yang menang. Itulah esensi demokrasi.

Sayangnya, di era media sosial dewasa ini, sistem demokrasi bisa dengan mudah terpeleset menjadi ‘medsoskrasi’. Apa itu ‘medsoskrasi’? Medsoskrasi ialah sistem politik yang ditegakkan media sosial (medsos), yang mana kekuasaan tertinggi (kratos) tidak lagi berada di tangan rakyat (demos), melainkan di tangan para pengguna media sosial (medsos). Artinya, siapa yang mampu memanipulasi pilihan suara warga negara melalui media sosial, dialah yang menang.

Dalam sistem medsoskrasi, berlangsung praktik-praktik manipulasi fakta, data, angka, penyebaran ujaran kebencian, hoaks dan fitnah, serta penggiringan opini warga negara. Para rente politik pemburu kekuasaan membabi buta menghalalkan segala cara demi meraih kursi kekuasaan. Prinsip ‘yang penting menang’ menjadi panglima. Etika dan moralitas disingkirkan. Uang lebih berkuasa ketimbang rekam jejak, gagasan, dan program kerja.

Dalam ajang pilpres di era medsoskrasi, tidak lagi berlaku prinsip one man one vote. Akan tetapi, satu orang sama dengan puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan lebih suara. Hal ini dimungkinkan karena dengan dukungan dana yang besar, aktor-aktor politik bisa dengan mudah memanipulasi media sosial untuk memengaruhi suara para pemilih.

Lebih jauh, medsoskrasi juga era percakapan politik warga negara lebih banyak terjadi di ruang virtual yang emosional, tertutup, dan berdimensi satu, bukan di ruang publik yang substantif, bebas, rasional dan emansipatoris (Habermas, 1962).

Di platform media sosial populer, seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp, kelompok-kelompok hiperpartisan pendukung calon presiden berhadapan, saling menyalahkan. Lalu, saling mencaci maki dan bahkan saling memusuhi hingga berpotensi memecah belah ikatan sosial warga negara dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Dalam era medsoskrasi, semakin sulit menemukan percakapan warga negara yang santun, objektif, jujur, cerdas, dan bermutu. Emosi lebih penting ketimbang akal sehat. Perasaan lebih utama ketimbang pikiran. Hasrat untuk mengalahkan lebih dikedepankan ketimbang upaya untuk memahami. Setiap kubu pendukung calon presiden merasa berhak menjadi yang paling benar. Setiap hidup dalam gelembung ‘filter bubble’ dan ‘echo chamber’ mereka sendiri: memegang teguh keyakinan yang mereka yakini sembari menolak apa pun keyakinan yang lain (Kakutani, 2018).

Menjaga demokrasi

Sistem demokrasi yang sehat sejatinya mempersyaratkan adanya ruang perbedaan pendapat. Setiap warga negara memiliki hak dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang mereka yakini. Setiap warga negara tidak merasa takut atas sensor, paksaan, atau manipulasi dalam menyampaikan aspirasinya. Dalam konteks inilah, praktik manipulasi penggunaan media sosial demi memengaruhi pilihan suara warga negara dalam pilpres menjadi bahaya besar bagi sistem demokrasi.

Menghadapi situasi seperti ini, Cass Sunstein dalam bukunya #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2018) mencatat perlunya tiga prakondisi yang patut dijaga agar demokrasi tetap tegak berdiri di tengah maraknya praktik manipulasi penggunaan media sosial. Pertama, perlunya menjaga paparan informasi, pandangan, dan posisi yang berbeda-beda dalam ruang media sosial.

Kedua, perlunya menjaga pemahaman atas pengalaman hidup bersama yang sejatinya dimiliki para pengguna media sosial. Ketiga, perlunya mengembangkan kecakapan dan literasi digital dalam menggunakan media sosial.

Pilpres tentu saja bukanlah perang yang harus dimenangkan dengan prinsip menghalalkan segala cara. Pilpres ‘hanyalah’ mekanisme demokratis memilih pemimpin yang seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai, norma, etika, dan moralitas. Upaya licik memenangi kontestasi pilpres dengan memanipulasi penggunaan media sosial harus segera dihentikan. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika ajang pilpres dilakukan dengan cara-cara kotor, manipulatif, dan merusak akal sehat.

Medhy Aginta Hidayat

Dosen Program Studi Sosiologi, FISIB, Universitas Trunojoyo, Madura. Doktor Sosiologi Universitas Missouri, AS.

Artikel opini ini telah dimuat di Media Indonesia, Kamis, 31 Januari 2019.

Image credit: MediaIndonesia.com