Di tengah hiruk-pikuk perdebatan politik di awal tahun 2019, masyarakat Indonesia tiba-tiba dikejutkan oleh berita terungkapnya praktik prostitusi daring yang melibatkan sejumlah artis ternama. Dua nama artis yang mencuat dalam pemberitaan media, VA dan AS, tertangkap tangan tengah melakukan transaksi seks di salah satu hotel di Surabaya (Sindo, 5/1/2019). Keduanya, bersama beberapa nama lain, diduga menjadi bagian jaringan sindikat prostitusi daring kelas atas yang menawarkan para pesohor: artis, penyanyi, model, selebgram dan bintang iklan.

Terungkapnya praktik prostitusi daring yang melibatkan artis ini tentu bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sejumlah kasus dengan modus operandi yang sama, tetapi dengan pelaku dan lokasi yang berbeda, telah beberapa kali terjadi di Indonesia.  

Pertanyaan menggelitik yang kemudian muncul adalah: mengapa kalangan pesohor (celebrity), yang secara sosial-ekonomi sebenarnya tergolong berkecukupan, jika tidak malah berlebih, masih terjerumus dalam praktik prostitusi?

Godaan Konsumerisme

Teori sosial tradisional biasanya mengaitkan praktik prostitusi dengan faktor kemiskinan dan tekanan hidup subsisten para pekerja seks komersial (Perschler-Desai, 2006). Merujuk teori ini, para pekerja seks komersial dianggap sebagai mereka yang kurang beruntung secara ekonomi: miskin, tidak berpendidikan dan berasal dari daerah pedesaan. Prostitusi dipahami secara sederhana sebagai fenomena para pekerja seks komersial yang ingin mendapatkan keuntungan material secara cepat dan mudah, di tengah kondisi sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun, fenomena praktik prostitusi dalam realitas kehidupan masyarakat kita dewasa ini sejatinya telah sangat jauh berubah. Transaksi seks kini tidak semata-mata didorong oleh urusan ekonomi: kebutuhan untuk bertahan hidup. Banyak pelaku praktik prostitusi dewasa ini ternyata justru adalah mereka yang secara ekonomi tidak bisa disebut sebagai golongan ekonomi kelas bawah. Praktik prostitusi daring yang melibatkan kalangan artis, misalnya, justru dilakukan oleh mereka yang nyata-nyata berasal dari golongan ekonomi kelas atas, atau setidaknya golongan kelas menengah-atas.

Penelitian yang dilakukan oleh Mary Finn dan kawan-kawan dari Michigan State University menunjukkan bahwa praktik prostitusi saat ini tidak lagi semata didorong oleh tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal (subsistensi), melainkan lebih karena keinginan untuk memperbesar daya konsumsi (Finn, 2017). Para pelaku praktik prostitusi, dalam pengertian ini, sebenarnya adalah mereka yang terbiasa hidup dalam pusaran dan godaan ideologi konsumerisme, bukan mereka yang serba berkekurangan. Hasrat berbelanja yang menggebu dan keinginan untuk memiliki gaya hidup tertentu (baca: mewah) seringkali justru menjadi motif utama para pelaku terlibat dalam praktik prostitusi dewasa ini.

Lebih jauh, masih menurut Finn, para pesohor – artis, penyanyi, model, selebgram dan bintang iklan – yang terjerumus ke dalam dunia hitam prostitusi sebenarnya adalah mereka yang terbiasa hidup berkelimpahan (2017). Habitus mereka sebagai pesohor selalu menawarkan imbalan materi berlimpah yang seolah tanpa henti. Dalam ruang habitus seperti ini, tekanan untuk selalu menjaga penampilan fisik, mengikuti trend gaya hidup terkini, memiliki barang-barang mahal dan bermerk, serta tuntutan sosial (social pressure) dunia hiburan yang hedonis seringkali menjadi faktor pemicu bagi sebagian oknum artis untuk menjajal dan akhirnya terlibat dalam aktivitas bisnis prostitusi. Dengan kecantikan yang mereka miliki sebagai pesohor, para artis pelaku praktik prostitusi kerap mengambil jalan pintas demi mendapatkan sejumlah besar imbalan materi secara mudah dan cepat.

Glamorisasi Gaya Hidup      

Selain godaan gaya hidup konsumtif dan hedonis, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi – terutama media sosial – ternyata juga turut mendorong semakin maraknya praktik prostitusi di kalangan pesohor. Platform media sosial Instagram, misalnya, disebut turut andil dalam membentuk kebiasaan “glamorisasi” gaya hidup para pesohor, melalui kebiasaan mengunggah foto-foto diri mereka (Finn, 2017). Merujuk Roland Barthes, seorang filsuf dan kritikus budaya dari Perancis, glamorisasi adalah fenomena memperindah, mempercantik dan memperagung penampilan obyek tertentu sebagai penanda simbolik (1957). Melalui proses glamorisasi, obyek-obyek visual yang sebenarnya biasa-biasa saja terlihat menjadi lebih indah dan cantik. Film, iklan dan dunia fashion, misalnya, adalah obyek-obyek visual yang jamak mengalami proses glamorisasi.

Dalam konteks habitus para pesohor di dunia hiburan, proses glamorisasi gaya hidup nampak dalam unggahan foto-foto diri mereka melalui media sosial Instagram. Penampilan fisik yang serba sempurna, cantik, indah, mewah, mahal dan berkelas seringkali secara sengaja berusaha ditampilkan demi menjaga citra glamor mereka di mata publik dan penggemar.

Padahal, di balik foto-foto glamor mereka di media sosial, tidak sedikit artis yang menjalani kehidupan sehari-hari yang berbeda di dunia nyata, menjadi kurang populer atau bahkan kehilangan sumber penghasilan di dunia hiburan. Akibatnya, ketika tuntutan sosial sebagai public figure untuk selalu tampil sempurna semakin kuat, sejumlah oknum artis akhirnya memilih mengambil jalan pintas dengan menjadi pekerja seks komersial demi mempertahankan citra dan status gaya hidupnya sebagai pesohor.

Akhirnya, fenomena praktik prostitusi di kalangan artis yang kian merebak bukanlah semata-mata karena persoalan kekurangan ekonomi. Gaya hidup konsumtif, hedonis dan glamor, yang kemudian berkembang menjadi tekanan sosial (social pressure) di dunia hiburan, sejatinya justru lebih berpotensi menjadi faktor pemicu tindak penyimpangan sosial ini. Upaya menghentikan praktik prostitusi di kalangan artis dengan demikian seyogyanya juga menyasar upaya penyadaran dampak negatif gaya hidup para pesohor yang cenderung konsumtif, hedonis dan glamor.

Medhy Aginta Hidayat
Dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo, Madura.

Image credit: Media Indonesia