Freedom House, sebuah lembaga independen yang bergerak di bidang advokasi kebebasan berpendapat dan demokrasi, pada 2017 merilis laporan tahunan berjudul Freedom on the Net 2017: Manipulating Social Media to Undermine Democracy. Dalam laporan tersebut, Freedom House mengungkapkan data mengejutkan tentang gejala peningkatan praktik manipulasi media sosial untuk kepentingan pilpres di setidaknya 18 negara selama Juni 2016-Mei 2017.

Merujuk laporan dari Freedom House, praktik-praktik manipulasi media sosial untuk kepentingan pilpres dilakukan dengan sejumlah cara, di antaranya mencuri data para pengguna media sosial, membajak akun sejumlah pengguna media sosial berpengaruh, menampilkan iklan media sosial dark post secara tertarget, menyebarkan fake news dan hoaks, menggunakan army of bots dan troll farms untuk mengangkat isu-isu tertentu, hingga membayar buzzers dan influencers media sosial untuk membentuk dan mengarahkan opini publik dalam Pilpres.

Salah satu preseden buruk manipulasi media sosial untuk kepentingan pilpres adalah penyalahgunaan 87 juta data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica untuk pemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016. Oleh Cambridge Analytica, data pribadi pengguna Facebook digunakan untuk memanipulasi kondisi psikologi calon pemilih agar memberikan suara untuk Trump. Hasilnya? Secara mengejutkan Donald Trump terpilih menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat.

Manipulasi media sosial

Dalam era digital dewasa ini, kehadiran media sosial sejatinya berperan positif memperluas ruang partisipasi publik. Media sosial adalah “teknologi pembebasan” (Diamond, 2010), ruang bersuara bagi mereka yang selama ini tidak mendapat tempat dalam ruang utama diskursus publik.

Namun, di sisi lain harus diakui bahwa media sosial juga seringkali dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik. Melalui media sosial, seseorang dengan mudah melakukan manipulasi informasi untuk kepentingan tertentu, misalnya pilpres. Politik pecah belah dan adu domba di era digital ini, misalnya, seringkali justru terjadi di media sosial.

Jika ditilik secara lebih mendalam, praktik manipulasi media sosial dimungkinkan karena tiga faktor. Pertama, akses penggunaan media sosial yang mudah. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (2017) menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia 143,26 juta, atau setara 54,68% dari total jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, 95% mengakses media sosial, terutama Facebook dan Twitter. Wajar jika penetrasi masif ini dengan mudah menggoda siapapun untuk memanfaatkan media sosial secara manipulatif.

Kedua, lemahnya aturan perundang-undangan dan rendahnya literasi media sosial. Harus diakui, di banyak negara termasuk di Indonesia, kebebasan berekspresi di media sosial tidak diimbangi dengan literasi media sosial. Banyak pengguna media sosial yang belum sepenuhnya memahami etika penggunaan media sosial. Lebih jauh, dalam hal minat baca, data dari World’s Most Literate Nations Ranked yang disusun oleh Central Connecticut State University (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Artinya, kebanyakan orang Indonesia sangat aktif bermedia sosial, namun malas membaca dengan cermat informasi yang beredar di dalamnya. Akibatnya, bisa ditebak, pengguna media sosial di Indonesia sangat rentan menjadi korban hoaks untuk kepentingan politik.

Ketiga, motif kepentingan individu atau kelompok pengguna media sosial. Panasnya kontestasi Pilpres 2019, misalnya, diyakini akan menjadi motif utama praktik manipulasi media sosial demi mencapai kemenangan capres-cawapres tertentu. Tingginya penetrasi pengguna media sosial, ditambah dengan rendahnya literasi digital dan lemahnya aturan hukum, mendorong para kontestan pilpres untuk berpikir pendek menghalalkan segala cara demi meraih kursi kekuasaan.

Menghindari medsoskrasi

Pilpres, termasuk di Indonesia, seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi yang bebas, jujur, dan adil. Setiap warganegara dengan bebas bisa terlibat, mengikuti, dan menentukan hasil pemilu. Pilihan diberikan kepada capres-cawapres secara sadar, sukarela, dan rasional — bukan karena paksaan. Itulah esensi pilpres dalam alam demokrasi: kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Sayangnya, dalam realitas budaya media sosial dewasa ini, demokrasi bisa dengan mudah terpeleset menjadi “medsoskrasi”. Inilah era ketika kekuasaan politik diperoleh berkat bantuan media sosial, di mana kekuasaan tertinggi (kratos) bukanlah di tangan rakyat kebanyakan (demos), melainkan di tangan suara para pengguna media sosial (medsos) yang telah dimanipulasi. Di media sosial, tidak berlaku prinsip satu orang satu suara (one man one vote), tetapi bisa jadi satu orang memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan lebih suara.

Dalam realitas media sosial, hal ini dimungkinkan karena dengan modal finansial yang dimiliki, aktor-aktor politik bisa dengan mudah memanfaatkan lembaga-lembaga konsultan, seperti Cambridge Analytica, untuk mempengaruhi suara para pengguna media sosial dalam pemilu. Dalam konteks ini, munculnya kelompok-kelompok bayaran seperti Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA) adalah indikasi tengah berlangsungnya praktik manipulasi media sosial untuk kepentingan politik di Indonesia. Kelompok-kelompok ini berusaha mempengaruhi opini dan pilihan politik publik melalui media sosial dengan cara menyebarkan ujaran kebencian, berita bohong, hoaks, dan fitnah demi tujuan politik tertentu.

Ajang pilpres dalam realitas medsoskrasi seperti ini sangat rentan terjerembab ke dalam sistem politik oligarki. Dalam sistem politik oligarki, segelintir orang memiliki kekuasaan besar untuk berkuasa dan memimpin pemerintahan. Dalam sistem politik medsoskrasi, mereka yang memiliki modal sosial, ekonomi dan budaya lebih besar, dengan mudah dapat membajak dan “membeli” suara pemilih melalui praktik manipulasi media sosial demi meraih kekuasaan dalam pilpres.

Agar terhindar dari praktik manipulasi media sosial dan medsoskrasi, pemerintah dan DPR perlu segera duduk bersama untuk menyusun legislasi penggunaan media sosial, khususnya untuk kepentingan politik. Aturan hukum yang membatasi penggunaan media sosial untuk berkampanye, jumlah dana iklan melalui media sosial, hingga sanksi hukuman pidana kepada siapapun yang menyalahgunakan media sosial untuk kepentingan politik, perlu segera dipikirkan. Tanpa aturan dan sanksi yang jelas, tidak mustahil, manipulasi media sosial demi kepentingan politik akan semakin menjadi-jadi menjelang perhelatan Pilpres 2019 nanti.

Medhy Aginta Hidayat

Dosen mata kuliah Dimensi Sosial Teknologi, Program Studi Sosiologi, FISIB, Universitas Trunojoyo, Madura; doktor sosiologi Universitas Missouri, AS.

Artikel opini ini telah dimuat di Detik.com, Senin 5 November 2018.

Image credit: RoarMedia.com