Masa kampanye Pilpres 2019 secara resmi telah dimulai. Kedua belah kubu capres/cawapres telah bersiap dengan taktik dan strategi pemenangan. Berbagai platform media kampanye dimanfaatkan. Salah satu media kampanye yang bisa dipastikan bakal banyak dimanfaatkan dalam perhelatan Pilpres 2019 adalah media sosial atau medsos.
Hadirnya medsos, harus diakui, telah banyak mengubah taktik dan strategi mendulang suara dalam ajang pemilu di Indonesia. Semenjak ajang Pilpres 2014, pemanfaatan medsos sebagai media kampanye politik di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan. Dibanding media kampanye konvensional-tradisional yang lain – spanduk, baliho, selebaran, iklan koran, TV, radio atau pengumpulan massa – medsos memang memiliki sejumlah kelebihan.
Memanfaatkan kelebihan
Dalam laporan berjudul “Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and e-Commerce Use Around The World” (2017) yang dirilis oleh We Are Social, sebuah perusahaan riset media yang berbasis di Inggris, pengguna medsos di Indonesia saat ini mencapai angka 132 juta jiwa. Dari angka tersebut, sebagian besar pengguna medsos di Indonesia memanfaatkan YouTube, Facebook, Whatsapp, Instagram dan Twitter. Dalam sehari, setiap orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu tiga jam duapuluh menit untuk mengakses medsos.
Jumlah pengguna medsos di Indonesia yang sedemikian besar tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi tim pemenangan capres/cawapres. Tidak heran jika masing-masing kubu memiliki tim khusus yang bertugas menyasar para pengguna medsos. Merujuk Cass R. Sunstein dalam bukunya #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), setidaknya terdapat tiga kelebihan pemanfaatan medsos sebagai media kampanye politik, termasuk Pilpres.
Pertama, mudah diakses oleh calon pemilih. Laporan dari We Are Social (2017) menunjukkan bahwa dari 132 juta jiwa pengguna medsos di Indonesia, 120 juta diantaranya mengakses medsos melalui perangkat bergerak – gawai, ponsel pintar atau tablet. Berkampanye melalui medsos, dengan demikian, memungkinkan tersebarnya pesan-pesan kampanye capres/cawapres secara mudah dan murah.
Kedua, berdaya jangkau luas. Berbeda dengan media kampanye konvensional-tradisional, medsos melampaui batasan geografis. Lebih jauh, daya jangkau kampanye melalui medsos memampukan pesan-pesan politik tersampaikan secara tertarget. Melalui Facebook Ads, misalnya, pesan kampanye Pilpres dapat disesuaikan dengan kondisi demografis calon pemilih sehingga lebih terukur dan tepat sasaran.
Ketiga, melibatkan calon pemilih. Mengutip Mike Eckstein, seorang peneliti medsos dari Australia, “Social media is much about engagement” (2018). Medsos adalah soal keterlibatan dengan orang lain. Pemanfaatan medsos dalam kampanye Pilpres memungkinkan calon pemilih untuk tidak sekedar pasif menerima pesan-pesan kampanye, tetapi lebih dari itu, membuka ruang interaksi dan diskusi: menyukai, memberi komentar, atau membagikan pesan-pesan kampanye kepada pengguna medsos yang lain.
Dengan kelebihan-kelebihan di atas, tidak aneh jika metode kampanye melalui medsos diprediksi juga akan menjadi pilihan utama bagi tim pemenangan capres/cawapres dalam Pilpres 2019. Namun, pilihan metode kampanye Pilpres melalui medsos juga bukan tanpa bahaya. Jika tidak hati-hati, karakter medsos yang membuka ruang sebebas-bebasnya kepada para penggunanya – nyaris tanpa sensor dan tanpa perlindungan privacy – berpotensi mencederai proses Pilpres yang seharusnya demokratis.
Belajar dari Pilpres AS
Penyebaran akun dan group palsu, berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan fitnah melalui medsos seringkali dianggap sebagai ancaman besar demokrasi, tidak terkecuali dalam Pilpres. Wajar saja. Berbagai kelebihan medsos, harus diakui, memang begitu menggoda bagi siapapun untuk mengikuti adagium “menghalalkan segala cara” demi meraih kekuasaan. Namun, di luar ancaman-ancaman di atas, sebenarnya terdapat ancaman lain yang tidak kalah berbahaya bagi pelaksanaan Pilpres yang demokratis: manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui iklan medsos.
Kemenangan kontroversial Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-45 adalah salah satu contoh preseden buruk manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui medsos dalam ajang Pilpres. Seperti kemudian terungkap dalam kasus Cambridge Analytica, tim kampanye pemenangan Trump ternyata telah menyalahgunakan 50 juta data pribadi pengguna Facebook untuk kepentingan kemenangan Trump. Data jutaan pengguna medsos ini dimanfaatkan untuk menyebarluaskan iklan-iklan politik Trump secara sangat tertarget (highly targeted).
Dengan dana raksasa 94 juta dollar AS dan dukungan teknologi big data, kampanye “Make America Great Again” yang dilakukan oleh tim pemenangan Trump bertujuan memanipulasi kondisi psikologis calon pemilih melalui pesan-pesan iklan yang ditampilkan. Brad Parscale, direktur kampanye digital Donald Trump di ajang Pilpres 2016, dalam acara “60 Minutes” CBS News TV menyatakan bahwa dalam sehari setidaknya ditampilkan hingga 60 ribu versi iklan Facebook Ads yang ditujukan untuk segmen pemilih yang berbeda-beda.
Dengan memanfaatkan data demografi, minat dan perilaku pengguna Facebook yang telah diolah sedemikian rupa, tim pemenangan Trump selanjutnya memilah calon-calon pemilih berdasarkan kecenderungan mereka: pendukung Donald Trump, pendukung Hillary Clinton dan mereka yang belum menentukan pilihan. Melalui iklan-iklan Facebook Ads, data psychographics ini kemudian digunakan untuk mempengaruhi dan mengarahkan tendensi psikologis calon pemilih agar mendukung Donald Trump. Hasilnya, secara mengejutkan Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat yang ke-45.
Celakanya, dibanding praktik penyebaran akun dan group palsu, berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan fitnah yang serba terbuka, praktik manipulasi data dan psikologi pengguna medsos melalui iklan kampanye politik jauh lebih sulit dilacak dan dicegah. Pasalnya, praktik ini seringkali dilakukan dalam koridor etiket bisnis periklanan, misalnya dengan secara eksplisit menampilkan diri sebagai materi iklan resmi. Sekilas, tidak ada yang salah dengan iklan-iklan kampanye politik ini.
Upaya membendung dampak negatif manipulasi data dan psikologi pengguna medsos menjadi semakin sulit karena dalam praktiknya setiap materi iklan yang dibuat dengan strategi ini, hanya bisa dilihat oleh calon pemilih dengan preferensi tertentu. Dengan kata lain, persuasi melalui iklan politik yang ditampilkan telah disesuaikan dengan kondisi psikologis target calon pemilih. Meskipun seolah berada “di bawah radar”, praktik manipulasi data dan psikologi calon pemilih melalui iklan di medsos terbukti telah membawa kesuksesan besar bagi Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016.
Belajar dari kasus Pilpres Amerika Serikat 2016, bukan tidak mungkin praktik manipulasi data dan psikologi pengguna medsos untuk kepentingan pemenangan salah satu capres/cawapres juga akan terjadi di Indonesia. Inilah tugas berat para pemangku kepentingan (stakeholders) Pilpres 2019 – KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, dan juga masyarakat luas calon pemilih – untuk bersama-sama berupaya mencegah praktik-praktik kampanye kotor di medsos yang berpotensi mengebiri demokrasi dalam momentum Pilpres 2019 nanti.
Medhy Aginta Hidayat
Dosen Mata Kuliah Dimensi Sosial Teknologi, Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura. Doktor Sosiologi Universitas Missouri, AS.
Artikel ini telah diterbitkan di harian Media Indonesia, Selasa, 25 September 2018.
Image credit: Media Indonesia
Leave a Reply