Guru kembali menjadi sorotan publik. Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengungkapkan hasil mengejutkan bahwa 63,07% guru Muslim di Indonesia memiliki kecenderungan bersikap intoleran terhadap pemeluk agama lain (PPIM, 16 Oktober 2018).
Survei nasional bertajuk Pelita Yang Meredup: Potret Keberagaman Guru Indonesia ini juga menemukan fakta bahwa faktor pemahaman keagamaan yang sempit, aspek demografis dan keterlibatan dalam organisasi keagamaan tertentu turut mempengaruhi meningkatnya gejala intoleransi di kalangan guru di Indonesia.
Hasil temuan survei ini tentu sangat memprihatinkan. Galibnya, lembaga pendidikan adalah pranata persemaian budi pekerti luhur. Sekolah, dan terutama guru, adalah agen utama sosialisasi nilai-nilai dan norma-norma, termasuk nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bersama. Namun, yang terjadi kini justru sebaliknya. Guru kini ditengarai menjadi agen tumbuhnya benih-benih perilaku intoleran.
Secara sosiologis, tumbuhnya benih-benih perilaku intoleran di kalangan guru dapat dibaca sebagai produk berkembangnya habitus intoleransi di dunia pendidikan. Merujuk sosiolog Pierre Bourdieu, setiap perilaku individu ditentukan oleh habitus (1972). Habitus adalah konsep yang dibuat Bourdieu untuk menjelaskan disposisi perilaku menubuh (embodied) yang dibentuk oleh norma, nilai dan kebiasaan melalui pengasuhan dan pendidikan. Misalnya, cara berjalan, cara berbicara, cara marah, cara berpikir atau bersikap. Alih-alih sadar, dalam perspektif Bourdieuan, cara kita berjalan, berbicara, berpikir atau bahkan bersikap terjadi secara spontan dan seringkali tanpa sadar.
Melalui pendidikan formal, selain juga pengasuhan dalam keluarga, habitus intoleransi niscaya tumbuh dan berkembang. Guru yang memiliki sikap intoleran, dengan demikian, cenderung berada dalam habitus intoleransi dan berpotensi menyebarluaskan habitus intoleransi di kalangan anak didiknya. Di sekolah, habitus intoleransi bisa mengejawantah dalam bentuk diskriminasi (bullying) berdasarkan suku, agama, ras, atau gender, pembatasan interaksi sosial berdasarkan latar belakang tertentu, serta penguatan identitas primordial.
Selain ditentukan oleh habitus intoleransi, perilaku intoleran di kalangan guru juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural. Bangkitnya paham primordialisme dan konservatisme keagamaan, misalnya, ditengarai menjadi salah satu pemicu meningkatnya gejala intoleransi di Indonesia (Bruinessen, 2013). Dalam gejala conservative turn ini, identitas primordial keagamaan menjadi identitas utama (marked identity) dan sekaligus pembeda dengan identitas yang lain (Brekhus, 2015). Dengan dalih kebenaran identitas agama tertentu, tanpa disadari dapat tumbuh benih-benih perilaku intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Di samping itu, perilaku intoleran di kalangan guru juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan lahirnya masyarakat digital yang membuka ruang penyebaran paham-paham ideologi transnasionalisme (James, 2017). Dalam konteks ini, internet dan terutama media sosial memberi ruang bagi siapapun, termasuk guru, untuk mengakses informasi dan pengetahuan keagamaan secara mudah dan nyaris tanpa sensor. Ajaran-ajaran keagamaan yang sempit, menyesatkan dan bahkan radikal, dengan mudah dibaca oleh para guru. Sebagai akibatnya, paparan pemahaman keagamaan yang keliru ini semakin menyuburkan benih sikap dan perilaku intoleran di kalangan guru.
Hasil temuan survei PPIM tentang meningkatnya gejala intoleransi di kalangan guru adalah alarm peringatan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Guru perlu kembali kepada khittah-nya sebagai bagian penting lembaga pendidikan yang bertujuan membentuk watak peserta didik yang “beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab” (Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Upaya konkret yang bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan dunia pendidikan adalah dengan mulai membangun habitus dunia pendidikan nasional yang toleran dan menghargai perbedaan. Misalnya, dengan melakukan pembenahan dalam proses pendidikan guru yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemajemukan, pencegahan penyebaran nilai dan perilaku intoleran melalui seleksi guru yang lebih ketat, peningkatan intensitas interaksi antar sekolah dengan latar belakang keagamaan yang berbeda, hingga pemberian pemahaman keagamaan yang lebih terbuka, moderat dan toleran kepada para guru.
Belum terlambat bagi para guru untuk berubah. Jangan sampai benih-benih intoleransi di kalangan guru dibiarkan tumbuh dan menggerogoti pohon kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.
Medhy Aginta Hidayat
Dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura.
Image credit: Media Indonesia
Leave a Reply