Joseph Robinette Biden Jr., atau Joe Biden, akan segera dilantik menjadi presiden Amerika Serikat ke-46. Meskipun proses penghitungan suara masih berlangsung, Biden telah diproyeksikan mengantongi 290 suara elektor (electoral votes), angka yang cukup bagi seorang kandidat untuk bisa duduk di kursi kepresidenan menurut sistem perundang-undangan di Amerika Serikat.
Kemenangan Biden, bersama Kamala Harris sebagai wakil presiden, disambut gegap gempita oleh para pendukungnya. Kurun empat tahun pemerintahan di bawah presiden Donald Trump – yang penuh kontroversi, ketegangan, dan ketidakpastian – nampaknya menjadi pemicu kegembiraan besar atas kemenangan Biden. Kemenangan Biden, yang berasal dari Partai Demokrat dan secara ideologis berlawanan dengan Trump yang berasal dari Partai Republik, seolah memberi harapan besar akan kembalinya kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat Amerika Serikat ke kondisi “normal.”
Oleh banyak pengamat, kemenangan Biden juga dilihat sebagai simbol kekalahan Trumpisme, gaya berpolitik kontroversial yang telah mengantarkan Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat di tahun 2016, meskipun seringkali dianggap un-American (tidak mewakili Amerika). Trumpisme sendiri adalah gaya berpolitik Donald Trump yang dicirikan oleh paham konservatif-ultra-kanan, populisme ultra-nasionalis, nativisme (yang cenderung ke arah proteksionisme), White-Supremacy, serta anti-globalisme. Trumpisme juga dicirikan oleh penolakan terhadap kemapanan tradisi politik Amerika Serikat, penolakan terhadap sains dan fakta ilmiah, penyimpangan terhadap pakem komunikasi publik yang santun dan diplomatis (Trump kerap menyebut lawan politiknya dengan julukan negatif, misalnya Sleepy Joe), serta penggunaan retorika politik yang berbasis polarisasi sentimen identitas ras, etnik, dan agama.
Selain itu, Trumpisme juga dicirikan oleh strategi komunikasi politik Donald Trump yang tidak segan memanfaatkan hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian demi kepentingan politiknya. Michiko Kakutani dalam bukunya The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of Trump (2018), mengungkapkan bahwa Donald Trump adalah politisi Amerika Serikat yang paling piawai memanfaatkan kebohongan (falsehood) demi libido politik. Trump tertangkap tangan telah berkali-kali berbohong bahkan setelah ia duduk di kursi kepresidenan. Koran The Washington Post (1/8/2018), misalnya, mencatat bahwa sejak menjadi presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2017 hingga 1 Agustus 2018, Trump telah membuat setidaknya 4.229 klaim keliru atau menyesatkan ke publik. Trump berulangkali secara sadar menggunakan kebohongan untuk mendapatkan sorotan kamera media massa, mengalihkan perhatian publik akan isu-isu tertentu, dan yang lebih penting lagi, demi mengeksploitasi sentimen dan emosi para pendukung fanatiknya.
Kemenangan Biden dengan demikian dianggap akan mengakhiri penyebaran ideologi hitam Trumpisme yang dibawa oleh Donald Trump dan mengembalikan budaya politik beradab (civic political culture) di Amerika Serikat. Namun, benarkah bersamaan dengan kekalahan Donald Trump dalam mempertahankan kursi kepresidenannya, ideologi Trumpisme juga serta-merta akan turut hancur? Nampaknya tidak semudah itu.
Hasil Pilpres kali ini menunjukkan bahwa tidak sedikit rakyat Amerika Serikat yang terlanjur menyukai dan mendukung janji-janji ideologi Trumpisme. Faktanya, di luar dugaan banyak lembaga jajak pendapat, perolehan suara Donald Trump dalam Pilpres AS kali ini justru meningkat dan lebih banyak dibanding Pilpres AS di tahun 2016. Secara nasional, popular votes yang diperoleh Trump mencapai 48% atau sekitar 70 juta suara. Angka ini meningkat 7,3 juta dibanding perolehan suara Trump di Pilpres 2016 (Reuters, 8/11/2020). Fakta ini menunjukkan bahwa hampir separuh penduduk Amerika Serikat ternyata setuju dan menerima apa yang dilakukan Trump melalui ideologi Trumpisme.
Koalisi dan militansi para pendukung Trump dalam Pilpres kali ini juga justru jauh lebih kuat. Ribuan pendukung Donald Trump di berbagai kota di Amerika Serikat terlihat selalu memadati ajang kampanye yang diadakan sebelum Pilpres berlangsung. Dibanding Pilpres 2016, para pendukung ideologi Trumpisme kini juga semakin menyebar di berbagai kelompok dan lapisan masyarakat Amerika Serikat. Kelompok etnik Hispanik dan kulit putih kelas-menengah yang sebelumnya tidak banyak memilih Trump, dalam Pilpres kali ini justru cenderung mendukung Trump (Newsweek, 4/11/2020). Realitas sosiologis masyarakat Amerika Serikat yang gelap dan laten (tidak terlihat), kini menampak jelas dalam ideologi Trumpisme – merayakan supremasi ras dan etnik tertentu (maraknya White Supremacy dan aksi rasisme), nativistik (dengan slogan America-First), anti-asing (menolak imigran Muslim dari Timur Tengah, membangun tembok tebal di perbatasan Meksiko), hingga anti-sains (menolak saran ilmuwan dalam penanganan Covid-19).
Meskipun Donald Trump kalah dalam kontestasi Pilpres AS kali ini, diakui atau tidak, ideologi Trumpisme nampaknya masih akan terus mempengaruhi realitas politik elektoral di Amerika Serikat. Trumpisme belum mati. Ia masih hidup. Ia hanya matisuri. Bukan tidak mungkin jika dalam Pilpres 2024 nanti Trumpisme hidup lagi dengan wajah dan tokoh yang berbeda. Mungkin bahkan lebih kuat dibanding Donald Trump sendiri. Era kepemimpinan Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris nampaknya harus menerima kenyataan telah tumbuh suburnya benih Trumpisme di tanah demokrasi Amerika Serikat. Tantangan politik Biden sebagai presiden baru Amerika Serikat adalah untuk menyatukan kembali rakyat Amerika Serikat yang telah terbelah tajam selama masa empat tahun kepemimpinan Donald Trump, dengan ideologi Trumpisme yang dibawakannya.
Medhy Aginta Hidayat
Dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura dan doktor sosiologi alumnus Universitas Missouri, AS.
Artikel opini ini telah dimuat di harian Jawa Pos, Senin, 9 November 2020.
Image credit: DW.com
M U Ginting
“Trumpisme belum mati. Ia masih hidup. Ia hanya matisuri. Bukan tidak mungkin jika dalam Pilpres 2024 nanti Trumpisme hidup lagi dengan wajah dan tokoh yang berbeda. Mungkin bahkan lebih kuat dibanding Donald Trump sendiri. Era kepemimpinan Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris nampaknya harus menerima kenyataan telah tumbuh suburnya benih Trumpisme di tanah demokrasi Amerika Serikat.” –
Saya mendukung penuh pernyataan ini, terutama karena trumpisme atau nasionalisme itu adalah arus sejarah yang tidak bisa dibendung, bukan hanya di AS dalam bentuk Affective Polarization, tetapi akan menjalar ke seluruh dunia.