Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juliari diduga terlibat praktik suap dana bansos Covid-19 di Kementerian Sosial. Keterkejutan publik seperti de javu, karena hanya dua pekan sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga ditangkap oleh KPK. Edhy diduga terlibat praktik suap pemberian izin ekspor benur lobster di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Keterkejutan publik bisa dimaklumi. Edhy Prabowo dan Juliari Batubara adalah dua menteri aktif pertama dalam Kabinet Indonesia Maju (Joko Widodo-Maruf Amin) yang dicokok KPK. Selama ini publik melihat Edhy dan Juliari sebagai pejabat negara dengan rekam jejak cukup bersih. Citra media yang melekat dalam diri keduanya pun relatif positif: muda, santun, cerdas, berprestasi, dan berasal dari partai besar (Edhy dari Gerindra dan Juliari dari PDIP).

Keduanya juga boleh dibilang sebagai pejabat negara dengan kekayaan berlimpah. Sesuai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Juliari memiliki kekayaan Rp 47,1 miliar, sementara Edhy memiliki kekayaan Rp 7,42 miliar.

Sebelum terjadi penangkapan oleh KPK, keduanya bahkan aktif dalam kampanye gerakan antikorupsi di lembaga kementerian yang mereka pimpin. Penangkapan keduanya seolah membuka mata publik bahwa citra positif seorang pejabat di panggung media bisa berlawanan dengan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan nyata.

Dunia Panggung

Erving Goffman, sosiolog terkemuka Amerika Serikat, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menjelaskan bahwa dunia sosial tak ubahnya adalah sebuah panggung pertunjukan. Dalam teori yang ia sebut sebagai dramaturgi, Goffman membedakan dunia sosial menjadi dua: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Panggung depan adalah ruang di mana seseorang menampilkan diri di depan publik: dunia buatan, dunia pencitraan, dunia semu-palsu yang sengaja diciptakan untuk dilihat dan menyenangkan para penonton. Sementara itu, panggung belakang adalah ruang di mana seseorang tampil sebagai dirinya sendiri: dunia yang otentik, dunia yang sebenarnya dengan segala cacat dan celanya.

Merujuk Goffman, dalam kehidupan sosial seseorang cenderung berusaha menampilkan diri secara sempurna di depan orang lain. Secara naluriah, di depan publik setiap orang melakukan apa yang oleh Goffman disebut sebagai manajemen kesan (impression management). Bukan hal yang aneh, misalnya, ketika berada di depan publik, seseorang bersikap santun, ramah, terbuka, bersahabat, ceria, sabar, atau agamis, namun ketika tidak sedang berada di depan publik ia bisa bersikap sebaliknya.

Menurut Goffman, manajemen kesan dilakukan seseorang dengan tujuan untuk membangun citra diri positif dan mendapatkan penerimaan dari orang lain. Lebih jauh, dalam dunia sosial, seseorang akan memanfaatkan modal yang dimiliki untuk tampil mengesankan di depan publik. Penampilan fisik, pakaian, cara bicara, kekuasaan, gelar, jabatan, kekayaan, keyakinan, silsilah keluarga, hingga jaringan pertemanan kerap menjadi properti penampilan diri seseorang di panggung depan dunia sosial.

Mengecoh Khalayak

Dalam perspektif dramaturgi, penangkapan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara adalah bukti bahwa pencitraan “bersih” dan “antikorupsi” oleh para koruptor di panggung depan (media) telah berhasil mengecoh khalayak publik.

Sejatinya, sudah menjadi rahasia umum bahwa panggung politik Indonesia sangat rentan praktik korupsi. Temuan lembaga Transparency International Indonesia (2018), misalnya, menyebutkan bahwa lembaga-lembaga politik adalah tempat yang paling banyak melahirkan para koruptor di Indonesia.

Yang menarik, di tengah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik yang terus menurun dan situasi bencana Covid-19 yang sedang melanda, para koruptor ternyata begitu piawai menyembunyikan aksi korupsi mereka dari pengamatan publik. Mereka gesit bersiasat dan berkelit. Mereka menyadari betul bahwa setiap sisi kehidupan mereka akan selalu menjadi sorotan publik.

Dalam situasi seperti itu, manajemen kesan dalam panggung politik, terutama sebagai penyelenggara negara yang bersih, menjadi sangat penting. Pencitraan sebagai pejabat negara yang selalu berada di garis depan upaya pemberantasan korupsi harus selalu dijaga. Padahal, di belakang panggung, dengan cara sembunyi-sembunyi, praktik-praktik korupsi ternyata justru dilakukan oleh para oknum pejabat negara ini.

Praktik-praktik korupsi dilakukan, misalnya, dengan memanfaatkan kekuasaan dan jabatan, melibatkan bawahan, asisten, teman, atau jaringan pihak ketiga, hingga mempermainkan aturan perundang-undangan. Layaknya panggung belakang pertunjukan drama yang tertutup, panggung kotor kehidupan para koruptor ini pun berusaha ditutup rapat-rapat dengan menampilkan citra diri yang positif di depan publik.

Ketika mereka tertangkap tangan, barulah publik tersadar bahwa oknum pejabat negara yang terkesan bersih dan antikorupsi di media ternyata adalah para koruptor.

Kasus suap yang melibatkan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara bukan tidak mungkin sebenarnya juga sedang dan masih banyak dilakukan oleh oknum-oknum pejabat tinggi di negeri ini. Di satu sisi, di depan panggung publik, mereka menampilkan diri sebagai pejabat yang bersih. Namun, di sisi lain, di belakang sorotan kamera, mereka tak lebih dari para bromocorah pencuri uang rakyat.

Dalam situasi seperti itu, masyarakat harus mewaspadai tingkah polah para oknum pejabat kotor yang niscaya menisbatkan diri sebagai malaikat pembela kepentingan rakyat. Penampilan bersih dan nyaris sempurna di panggung politik nyatanya bukanlah jaminan atas integritas dan komitmen mereka untuk melawan praktik-praktik korupsi.

Bertepatan dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia hari ini (9/11), terungkapnya kasus korupsi oleh para menteri itu sepatutnya menjadi momentum berharga untuk mencermati kembali latar belakang, rekam jejak, dan perilaku para pejabat penyelenggara negara yang tidak banyak mendapat sorotan publik. Jangan sampai terulang, masyarakat terkecoh oleh tipu daya pencitraan penampilan “bersih” dan “antikorupsi” para oknum pejabat negara, yang sebenarnya justru para pencuri uang rakyat.

Medhy Aginta Hidayat, dosen Program Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura.

Artikel opini ini telah dimuat di Detik.com, Rabu, 9 Desember 2020.

Image credit: Detik.com