Tahun 2004, Mark Zuckerberg menciptakan Facebook. Niatnya mulia: “Saya ingin membantu menghubungkan orang-orang, mahasiswa-mahasiswa di Universitas Harvard, melalui internet.” Tahun 2006, Jack Dorsey, Noah Glass, Biz Stone dan Evan Williams menciptakan Twitter. Tujuannya sederhana: “Ini seperti sms yang membantu Anda berkomunikasi secara singkat dan cepat.” Tahun 2010, Kevin Systrom dan Mike Krieger menciptakan Instagram. Harapannya membumi: “Kami hanya ingin membantu orang-orang berbagi foto dan video dengan mudah.”

Semuanya berangkat dari keinginan luhur. Niat baik.

Namun, siapa sangka, tak sampai lima belas tahun kemudian, cita-cita luhur itu ternyata menuai hasil berbeda. Atau setidaknya, menyimpang dari tujuan semula. Hari-hari belakangan ini, media sosial, termasuk Facebook, Twitter dan Instagram, nampaknya harus menerima nasib buruk: lebih banyak dimaki ketimbang dipuji.

Facebook bertubi-bertubi dicaci karena dianggap lebih banyak menebar keburukan ketimbang kebaikan. Insiden terakhir adalah skandal pencurian data pribadi pengguna Facebook oleh lembaga konsultan politik Cambridge Analytica. Sebelumnya, Facebook sudah didera banyak masalah: jual-beli data pengguna, manipulasi dan mobilisasi akun palsu, penyebaran ujaran kebencian, hoaks dan fitnah.

Nasib Twitter dan Instagram tidak jauh berbeda. Mengutip laporan majalah Business Insider (2017), Twitter dituding sebagai platform media sosial penghasil hoaks dan ujaran kebencian terbesar di dunia. Dalam laporan yang sama, Instagram dicap sebagai media sosial penyebar hiperrealitas, realitas visual buatan yang dilebih-lebihkan dan menyesatkan, tetapi dianggap nyata.

Para pendiri Facebook, Twitter dan Instagram sangat boleh jadi tidak pernah membayangkan dampak negatif platform media sosial yang dulu mereka bangun. Mark Zuckerberg, misalnya, dalam wawancara di acara Technonomy akhir tahun 2016, pernah berkomentar bahwa tidak mungkin Facebook bisa mempengaruhi Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. β€œItu ide gila,” sergah Zuckerberg ketika itu.

Pada saat itu, Mark Zuckerberg – sebagai pencipta Facebook sekalipun – tidak membayangkan jika media sosial karyanya akan disalahgunakan. Belakangan, baru terungkap bahwa Cambridge Analytica, firma konsultan politik yang disewa tim kampanye Donald Trump, terlibat dalam upaya manipulasi perilaku pengguna Facebook dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016.

Mark Zuckerberg, seperti halnya kita, hanya bisa terkaget-kaget. Media sosial ternyata tak seaman dan seramah yang kita bayangkan. Ya, media sosial, dalam perkembangannya, seolah telah meninggalkan niat baik para penciptanya dan bergerak liar tanpa kendali laksana juggernaut. Secara sosiologis, merujuk Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), juggernaut adalah metafora kondisi masyarakat modern yang dipenuhi resiko dan ketidakpastian. Juggernaut, menurut Giddens adalah wahana raksasa bermesin adidaya, yang pada batas tertentu bisa diarahkan, namun kemudian bergerak tanpa kendali, lepas kontrol, tanpa bisa dihentikan (unstoppable), menabrak, menggilas siapapun dan akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.

Modernitas, bagi Giddens, adalah juggernaut. Ia mustahil dikendalikan, menggilas individu dan masyarakat modern, dan niscaya akan menghancurkan dirinya sendiri, jika tidak segera diluruskan jalannya.

Dalam metafora inilah, media sosial menjelma monster laksana juggernaut. Media sosial menjadi entitas raksasa dengan kuasa digdaya, yang lepas kendali, tak bisa dikontrol, unstoppable, menggilas para pengguna dan penciptanya yang bahkan masih terkaget-kaget dengan dampak buruk yang ditimbulkannya. Ia seolah bergerak liar ke tujuh penjuru angin, mengobrak-abrik tatanan modernitas yang telah melahirkannya.

Sebagai misal, tidak ada yang pernah membayangkan bahwa Facebook, Twitter atau Instagram, akan berkembang menjadi media pemantik konflik politik horizontal. Efek echo chamber media sosial ternyata dengan mudah membelah penggunanya menjadi kelompok-kelompok politik yang saling berseberangan. Perpecahan tajam di tingkat akar rumput, seringkali dipicu dan terjadi melalui media sosial.

Atau, misal yang lain, siapa yang pernah menyangka bahwa media sosial punya peran besar dalam mengebiri sistem demokrasi. Terungkapnya manipulasi data pribadi pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica dalam Pilpres Amerika Serikat 2016 dan Referendum Brexit 2016, adalah bukti nyata bahwa media sosial bisa digunakan untuk mengatur hasil pemilu yang demokratis. Mengutip ungkapan Jonathan Taplin dalam bukunya Move Fast and Break Things (2017), suara rakyat bukan lagi suara Tuhan. Suara rakyat adalah suara media sosial yang dimanipulasi.

Vincent Mosco, profesor sosiologi dari Queen’s University, Kanada, dalam bukunya Marx in Age of Digital Capitalism (2016), menyatakan bahwa hadirnya media sosial memang berpotensi menciptakan sebuah ekosistem digital yang penuh resiko manipulasi dan kejahatan. Resiko tersebut setidaknya berasal dari empat hal: 1) keawaman pengguna media sosial akan resiko aktivitas mereka di dunia maya; 2) kebebasan nyaris tanpa batas perusahaan media sosial dalam mengakses data pribadi penggunanya; 3) keengganan perusahaan media sosial menjamin sepenuhnya keamanan privasi penggunanya; serta 4) masih minimnya aturan hukum mencegah manipulasi dan kejahatan melalui media sosial.

Menilik resiko-resiko ini, pendidikan literasi digital bagi pengguna media sosial rasanya sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pengguna media sosial harus melek resiko, melek hak privasi, melek berita faktawi, melek ujaran kebencian dan melek hoaks. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan media sosial juga harus memberikan jaminan keamanan bagi para penggunanya. Data pribadi pengguna media sosial tidak boleh dijual-belikan dengan dalih apapun. Terakhir, pemegang otoritas informasi dan komunikasi negara harus segera menyusun aturan ketat yang lebih berpihak kepada konsumen yang selama ini selalu dirugikan, yakni para pengguna media sosial itu sendiri.

Dampak negatif media sosial, boleh jadi, hanyalah efek samping belaka. Ia adalah residu peradaban. Namun, tanpa kesadaran untuk segera memperbaikinya, bukan tidak mungkin efek samping ini akan berubah menjadi efek bawaan yang mematikan, laksana juggernaut.

Medhy Aginta Hidayat

Dosen mata kuliah Dimensi Sosial Teknologi, Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura. Doktor sosiologi Universitas Missouri, USA.

Catatan: Artikel opini ini sebelumnya telah dimuat di harian Jawa Pos, 27 April 2018.

Image credit: SalesForce.com