Pokemon Go tengah menjadi buah bibir. Permainan video game berbasis augmented reality ini disambut gembira sejak hari pertama peluncurannya. Berbeda dengan kebanyakan video games, Pokemon Go menawarkan cara baru bermain video games. Untuk memainkan video game ini, para pemain harus menjelajah dan mengumpulkan “monster-monster” Pokemon Go yang seolah ada di dunia nyata, bukan di konsol video games atau handphone.

Tidak seperti jamaknya video games yang cenderung dimainkan secara individual, statis dan asosial, Pokemon Go malah memaksa para pemainnya untuk bergerak dan berinteraksi dengan para pemain lainnya. Para penikmat video games yang sebelumnya hanya duduk diam sendirian di rumah, kini mau tidak mau harus bangkit, berdiri, bergerak, berjalan keluar, dan bertegur sapa dengan para pemburu monster Pokemon Go lainnya di dunia nyata. Sensasi baru cara memainkan Pokemon Go ini banyak diacungi jempol. Muncul harapan besar agar Pokemon Go dapat membawa angin perubahan positif di dunia video games, terutama untuk mendorong karakter video games yang lebih sehat dan ramah sosial.

Dalam kajian sosiologi budaya, Pokemon Go boleh disebut sebagai anak kandung era hiperrealitas (hyperreality) masyarakat pasca modern. Merujuk Jean Baudrillard (1994), masyarakat pasca modern saat ini hidup di dalam dunia yang dibentuk oleh pelbagai tanda, citra, dan kode yang berbasis teknologi canggih. Dalam masyarakat teknologis seperti ini, muncul realitas-realitas buatan yang mencampuradukkan realitas nyata dan realitas semu (virtual) seperti theme park (Disneyland, Universal Studio), movie studio (Hollywood), social media (Facebook, Twitter), hingga virtual video games (Pokemon Go).

Yang menarik, seperti disampaikan Baudrillard, terdapat kecenderungan masyarakat pasca modern untuk menerima realitas buatan seperti halnya realitas yang sebenarnya. Tokoh-tokoh kartun di Disneyland misalnya, dianggap tidak berbeda dengan sosok-sosok hidup dalam dunia nyata. Demikian halnya dengan relasi hubungan sosial melalui social media, misalnya Facebook atau Twitter, yang dianggap sebagai representasi interaksi sosial layaknya di dunia nyata. Lebih jauh, muncul fenomena hiperrealitas (hyperreality), dimana realitas-realitas buatan kini dianggap lebih “nyata” ketimbang realitas yang sebenarnya (Baudrillard, 1994).

Dalam dunia hiperrealitas ini, alih-alih pada dunia nyata, orang lebih suka merujuk realitas buatan sebagai acuan: tokoh fiktif (Barbie sebagai model tubuh ideal), superhero (Captain America sebagai sosok “pahlawan”), jumlah likes di Facebook atau followers di Twitter (sebagai ukuran popularitas seseorang), atau interaksi sosial yang dilakukan oleh para pemain Pokemon Go (sebagai ukuran interaksi sosial yang otentik).

Ilusi interaksi sosial yang ditawarkan Pokemon Go memang cenderung membuat para pemainnya meyakini bahwa mereka sedang “bergaul” di dunia nyata. Namun, Pokemon Go sebenarnya tetaplah sebuah realitas buatan, bukan realitas yang sebenarnya. Pokemon Go adalah sebuah video game. Dunia video game Pokemon Go, sejatinya adalah sebuah dunia individualistik, yang memusatkan seluruh perhatiannya untuk kepentingan ego sang pemain: lokasi dimana Si Pemain berada, jumlah monster yang ia miliki, kekuatan monster yang ia miliki, hingga peluang kemenangan yang bisa ia dapatkan. Dengan kata lain, meskipun berkarakter sosial, Pokemon Go sebenarnya membangun karakter tersebut di dalam realitas dunia buatan yang bersifat egosentris, bukan karakter sosial sebagaimana dipahami di dunia nyata.

Demikian halnya, meskipun Pokemon Go seolah “memaksa” para pemainnya untuk bergerak menjelajahi dan peduli kepada lingkungan sekitarnya, namun sebenarnya fokus para pemain tetaplah layar handphone dan monster Pokemon Go milik mereka masing-masing. Kepedulian dan interaksi sosial yang terjadi, dengan demikian, adalah kepedulian dan interaksi sosial semu. Pertemuan, percakapan dan persinggungan antar pemain lebih didorong oleh tujuan utilitarian demi permainan Pokemon Go itu sendiri dan bukan demi tujuan interaksi sosial yang sesungguhnya.

Bahkan seringkali terjadi, meskipun berada dalam kerumunan massa, para pemain Pokemon Go tetap asyik menatap layar handphone mereka masing-masing tanpa peduli satu sama lain. Hal ini terjadi karena interaksi sosial para pemain Pokemon Go sejatinya adalah interaksi sosial yang didorong oleh kompetisi antar pemain, bukan interaksi sosial yang berlandaskan pertukaran dan kerjasama secara tulus. Dalam situasi seperti ini, rasanya sulit mengharapkan interaksi sosial akan berjalan secara genuine, langgeng dan saling menguntungkan.

Akhirnya, harus dipahami bahwa “interaksi sosial” yang terjadi diantara para pemain Pokemon Go adalah interaksi yang berlandaskan insentif atau hadiah (poin, skor, item). Tidak jarang, demi mengejar tujuan mendapatkan insentif sebanyak-banyaknya, para pemain Pokemon Go rela melanggar batas-batas interaksi sosial yang wajar. Beberapa media di Amerika Serikat bahkan sudah melaporkan sejumlah insiden pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pemain Pokemon Go, mulai dari trespassing (memasuki area pribadi tanpa ijin), stalking (mengikuti pemain lain secara online ataupun offline), hingga pelanggaran aturan lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan fatal di jalan raya. Interaksi sosial semu berbasis insentif yang dikembangkan oleh Pokemon Go ini, dengan demikian, bukanlah sebuah interaksi sosial yang sehat dan justru cenderung membahayakan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dari uraian diatas, demam berburu monster Pokemon Go yang kini juga melanda Indonesia, seyogyanya dibarengi dengan pemahaman akan dampak negatif yang niscaya ditimbulkannya. Tanpa menafikan ide cemerlang yang ditawarkan oleh Pokemon Go, nampaknya masih diperlukan waktu untuk menghadirkan inovasi video games yang benar-benar memberi ruang interaksi sosial yang sehat dan aman bagi penggunanya.

Image credit: Pokemongo.com