Pujian

“This is a really great paper, and very interesting to read. You do a nice job of integrating Bell and Whitehouse to demonstrate the relationship that rituals acts have to the persistence of stable Muslim identities. Nice work! You also do an excellent job summarizing the scholars you use. You are precise, succinct, and very clear. Well done!” (Ini paper yang bagus sekali dan sangat menarik dibaca. Kamu berhasil menyatukan pemikiran Bell dan Whitehouse untuk menunjukkan hubungan antara aktivitas ritual dan identitas Muslim. Bagus sekali! Kamu juga berhasil dengan baik meringkas pemikiran tokoh-tokoh yang kamu kutip. Kamu tajam, ringkas, dan sangat jelas. Bagus!)

Apa yang menarik dari cara mengajar seorang profesor di Amerika?

Barangkali ada beberapa yang bisa disebut.

Salah satunya: royal memuji.

Ya, profesor-profesor di Amerika memang terbiasa memberikan pujian, baik selama proses belajar di dalam kelas, maupun ketika memberikan komentar tugas mahasiswa. Kutipan diatas, contohnya, adalah komentar yang diberikan oleh salah seorang profesor untuk paper yang saya tulis.

Adakah paper yang saya tulis begitu sempurna? Sama sekali tidak.

Masih banyak kekurangan di sana sini. Namun demikian, toh paper itu mendapat pujian yang sungguh membesarkan hati.

“Very good job,” “excellent conclusion,” “very fruitful,” “great comparison,” “well done,” adalah beberapa ungkapan pujian yang sangat sering saya dengar di dalam kelas. Pujian yang sama juga sering saya temukan di dalam komentar atau feedback untuk paper atau tugas tertulis lainnya. Nyaris tidak pernah saya dengar atau baca pernyataan negatif yang melemahkan atau merendahkan.

Kalaupun ada kesalahan, sambil dibarengi pujian, biasanya sang profesor hanya akan menyinggung secara umum kesalahan yang ada. Selebihnya, kesalahan didiskusikan secara pribadi di ruang profesor. Mahasiswa tidak dibuat merasa “bersalah” secara personal. Dan biasanya, jika ada kesalahan, sang profesor juga akan memberikan alternatif masukan untuk memperbaiki kesalahan.

Budaya memuji sendiri sejatinya adalah salah satu bagian kebudayaan masyarakat Amerika yang sangat menonjol. Memuji, memberi penghargaan, mendorong secara positif, membesarkan hati, sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari orang Amerika.

Cara mengajar yang dipenuhi pujian, apresiasi, membesarkan hati, mbombong, dan memberi semangat, sebenarnya juga bukan cuma berlangsung di tingkat pendidikan tinggi. Semenjak tingkat dasar, guru-guru di Amerika sudah terbiasa memberikan pujian kepada murid-muridnya.

Chris Ulmer, seorang guru untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Jacksonville, Florida, misalnya, selalu memulai pelajaran setiap paginya dengan memberikan pujian kepada setiap anak. Dalam video yang diunggah di YouTube dan menjadi viral, Chris terlihat duduk di depan kelas dan satu-persatu anak-anak didiknya berdiri di depannya untuk dipuji.

“I love having you in my class. I think you’re very funny. I think you’re amazing. I think you’re brilliant. I think everyone in here loves you.” (Saya senang kamu ada di kelas saya. Saya kira kamu sangat lucu. Saya kira kamu luar biasa. Saya kira kamu pintar. Saya kira semua disini menyukai kamu).

“You’re amazing student. You’re very smart. You do great job everyday. And you make everyone laugh. Thanks for being a great student.” (Kamu siswa yang hebat. Kamu sangat pintar. Dan kamu membuat semua orang tertawa. Terima kasih sudah menjadi siswa yang hebat).

“You’re a great student. You’re athletic. You’re a great soccer player. You’re smart. You did a great job on reading.” (Kamu siswa yang hebat. Kamu jago olahraga. Kamu pemain bola yang hebat. Kamu cerdas. Kamu pintar membaca).

Hasilnya?

Anak-anak berkebutuhan khusus yang awalnya memiliki kesulitan belajar ini kini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan mampu melihat diri mereka secara positif. Bahkan, kebiasaan memberikan pujian ini menular diantara mereka sendiri. Mereka mulai terbiasa memberi pujian satu sama lain.

Bagi saya pribadi, pada awalnya, cara mengajar yang penuh pujian ini terasa “aneh.” Ya, aneh.

Maklum, terus terang saya jarang menemui situasi seperti ini di Indonesia. Memuji, di Indonesia dan terutama di ruang-ruang kelas kita, seolah adalah sesuatu yang “sakral,” tidak boleh diumbar, tidak boleh diberikan secara terbuka di depan kelas. Juga tidak boleh sembarangan diberikan kepada sembarang anak didik. Memberi pujian seolah hanya boleh diberikan kepada mereka yang istimewa, yang di atas rata-rata, yang luar biasa pandai.

Bukan untuk setiap anak didik.

Padahal, sejatinya pujian bisa diberikan kepada siapa saja. Pujian bisa diberikan kepada seorang anak yang biasa-biasa saja, bahkan yang kita anggap bodoh sekalipun, yang telah berusaha melakukan sesuatu dengan baik, sesederhana apapun itu.

Seorang murid atau mahasiswa yang menyimak dengan tekun penjelasan guru atau dosen, seorang mahasiswa yang baru pertama kali berani menyampaikan pendapat di dalam kelas, seorang siswa yang sudah bersusah payah mengerjakan tugas dengan benar dan tepat waktu, seorang anak didik yang berani mencoba menjawab pertanyaan meskipun salah, atau bahkan seorang mahasiswa yang sekedar berpakaian dengan sopan dan rapi, misalnya, layak mendapat pujian.

Pujian tidak harus diberikan untuk sesuatu yang besar, istimewa dan luar biasa.

Pujian, justru memiliki kekuatan, ketika diberikan untuk hal-hal kecil.

Saya tidak hendak serta-merta memuji cara mengajar di Amerika yang dipenuhi puja-puji. Pujian yang berlebihan dan tidak tulus, bisa jadi justru akan menyakitkan. Namun jika diberikan dengan tulus, saya percaya pujian bisa menjadi kekuatan penggerak yang luar biasa bagi siapapun untuk berusaha menjadi lebih baik.

Jadi, mari membiasakan memuji. Sekecil apapun. Sesederhana apapun.

Dengan pujian, kita bisa mengubah hal-hal kecil menjadi besar.

Seperti kata Catherine the Great, sri ratu Rusia:

“I praise loudly. I blame softly.” (Saya memuji dengan lantang. Saya menyalahkan dengan lamat-lamat)

Photo credit: Create50.com

← Previous post

Next post →

7 Comments

  1. Well done, Mr Medhy!
    Tulisan yang sangat bagus (latihan memuji). 😀

    Tapi memang benar, Pak. Budaya seperti ini terasa aneh ketika pertama dipraktikkan di dalam kelas. Pendapat biasa saja dikatan: “Greaaat!, Brilliant!, etc”

    Perlu diterapkan di Indonesia, pelan-pelan.

  2. Menginspirasi sekali Pak Medhy. Terima kasih banyak atas tulisan inspiratifnya.

    Bagaimana kabarnya Pak? lama sekali tidak bertemu. Senang sekali bisa melihat update tulisan dari Pak Medhy lagi.

    • mm

      Medhy Hidayat

      Terima kasih apresiasinya, Wahyu.

      Kabar saya baik, sehat wal afiat. Semoga catatan kecil ini bermanfaat ya. 🙂

  3. Saya share tulisan ini ke istri yang sekarang sedang menjadi pendidik di PAUD. Sangat inspiratif tulisannya Pak Medhy

    • mm

      Medhy Aginta Hidayat

      Terima kasih apresiasinya, Mas Nugraha. Semoga bermanfaat. 🙂

  4. MOH. FATONI

    I like this.
    apakah di tulisan ini salah satu contoh proses dalam teori Pertukaran Sosial yaitu pujian (reward) yang dapat memberikan efek tindakan yang rajin (teratur) bahkan dapat lebih baik di kemudian hari atas pekerjaan yang telah diberi pujian?

Leave a Reply to Nugraha Cancel reply

Read more:
Muslim Prayer
Ibadat, the Body and Identity: Islamic Rituals and the Construction of Muslim Identity

This library-based theoretical paper examines three types...

Close