Hari Kamis, 18 November 1999, Ariel Heryanto – yang saat itu masih menjadi staf pengajar di National University of Singapore – menulis sebuah kolom opini di harian Kompas. Judul artikelnya lugas, persis menggambarkan keprihatinan banyak orang saat itu: “Ilmu Sosial Indonesia: Krisis Berkepanjangan.” Dalam tulisan tersebut Ariel mendedah sejumlah persoalan klasik – dan klise – yang dialami dunia ilmu sosial di Indonesia: terbatasnya dana pendidikan dan penelitian, kurangnya minat baca, sedikitnya buku bermutu, toko buku, perpustakaan dan jurnal ilmiah, kuatnya pengaruh teori-teori Barat di kampus-kampus di Indonesia, minimnya kontribusi ilmu sosial dalam penyelesaian masalah bangsa, hingga rendahnya keikutsertaan ilmuwan sosial Indonesia dalam forum-forum ilmiah antarbangsa. Pelbagai persoalan tersebut membawanya untuk sampai pada kesimpulan bahwa ilmu sosial di Indonesia tengah mengalami krisis.

Krisis yang parah.

Delapan belas tahun setelah kolom Ariel Heryanto muncul di media, kondisi umum ilmu sosial di Indonesia, sayangnya, masih belum banyak berubah. Hari Selasa, 29 Agustus 2017, rubrik Editorial di harian yang sama, Kompas, menurunkan sebuah tulisan dengan nada yang nyaris sama, berjudul “Absennya Disiplin Ilmu Sosial.” Artikel editorial tersebut berangkat dari kritikan tajam yang disampaikan dalam sebuah simposium internasional tentang tsunami di Denpasar, Bali, bahwa ilmuwan sosial di Indonesia kurang berperan dalam aksi-aksi penanggulangan bencana. Selama ini pembahasan dan penanganan bencana lebih banyak dilakukan oleh bidang keteknikan. Bidang ilmu sosial nyaris absen. Padahal, di lapangan aspek keteknikan tidak memadai. Dalam tulisan pendek ini redaksi Kompas juga sampai pada kesimpulan yang sama bahwa ilmu sosial di Indonesia masih minim kontribusi dalam menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa.

Keluhan dan kritik tentang kondisi memprihatinkan ilmu sosial di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Sudah lama dan sudah banyak ilmuwan sosial Indonesia yang resah dengan kondisi ini dan melontarkan oto-kritik tajam. Diantara sekian banyak persoalan, salah satu yang seringkali menjadi sumber perdebatan panjang adalah soal tunduknya ilmu-ilmu sosial di Indonesia terhadap paradigma dan teori-teori Barat. Ilmu sosial di Indonesia selama ini dipandang tak lebih dari “pembeo” pemikiran-pemikiran asing yang tak berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Para ilmuwan sosial di Indonesia dianggap hanya menelan mentah-mentah, mengutip, mengulang-ulang atau sekedar membenarkan apa yang telah diteorikan oleh tokoh-tokoh ilmu sosial Barat. Akibatnya, bisa diduga, hingga saat ini, nyaris tidak ada satu pun teori sosial unggulan yang lahir di Indonesia dan berciri khas ke-Indonesia-an.

Keresahan ini bukannya tanpa tanggapan.

Dalam beberapa kurun sejarah perkembangan ilmu sosial di Indonesia, muncul setidaknya dua arus besar tanggapan kalangan ilmuwan sosial Indonesia dalam menyikapi persoalan “hilangnya wajah pribumi ilmu sosial kita” (Dhakidae, 2006).

Pertama, muncul semangat untuk membangun ilmu sosial transformatif. Maksudnya, diyakini bahwa ilmu sosial tidak boleh hanya berteori, abstrak, mengawang-awang dan sekedar menjelaskan realitas sosial, namun ilmu sosial harus mampu melakukan perubahan (to transform) nyata dalam masyarakat. Hanya dengan cara demikian, maka ilmu sosial di Indonesia akan benar-benar memiliki kontribusi dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, muncul upaya pribumisasi atau indigenisasi (mengutip Ignas Kleden) ilmu sosial di Indonesia. Maksudnya, diyakini bahwa ilmu sosial di Indonesia tidak bisa lagi hanya mengulang-ulang paradigma dan teori sosial Barat, namun harus memiliki wajah ke-Indonesia-an serta lahir dari pergumulan kontekstual sesuai locale genius dimana teori itu digunakan (Dhakidae, 2006). Ilmu dan ilmuwan sosial Indonesia harus mulai berani mengangkat gagasan-gagasan lokal sebagai teori-teori sosial yang teruji secara ilmiah dan memiliki kedudukan yang setara dengan teori-teori sosial Barat.

Meskipun kedua tanggapan ini sama-sama penting dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tulisan ini akan lebih terfokus pada upaya yang kedua, yaitu upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

Membumikan Ilmu Sosial di Indonesia: Sebuah Utopia?

Sebelum menelisik lebih jauh perihal upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial di Indonesia, ada baiknya kita menengok sejenak fungsi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Dalam tulisannya “Tiga Dimensi Ilmu Sosial Dalam Dinamika Sejarah Bangsa,” Taufik Abdullah, sejarawan dan mantan Ketua LIPI, membedakan fungsi ilmu sosial di Indonesia menjadi tiga dimensi, yakni sebagai sistem pengetahuan ilmiah (a system of scientific knowledge), sebagai cabang ilmu-ilmu terapan (a branch of applied science), dan sebagai sistem wacana kritis (a system of critical discourse) (Abdullah, 2017).

Dalam dimensi pertama, sebagai sistem pengetahuan ilmiah, ilmu sosial di Indonesia berperan mengembangkan pengetahuan (progress of knowledge) melalui penelitian-penelitian dasar atau basic research. Ilmu-ilmu sosial murni, seperti misalnya sosiologi, menjadi ujung tombak pengembangan body of knowledge melalui kajian-kajian teoritis untuk melahirkan teori-teori baru.

Dalam dimensi kedua, sebagai cabang ilmu-ilmu terapan, ilmu sosial di Indonesia berperan dalam melayani kebutuhan masyarakat lewat penelitian-penelitian tentang sektor-sektor terapan, serta tentang kajian kebijakan pemerintah lewat penelitian policy studies. Ilmu-ilmu sosial terapan, misalnya ilmu komunikasi atau ilmu pemerintahan, menjadi penggerak penerapan teori-teori ilmu sosial dalam masyarakat.

Dalam dimensi ketiga, sebagai sistem wacana kritis, ilmu sosial di Indonesia berperan dalam melakukan tinjauan kritis berdasarkan kajian ilmiah tentang arah perkembangan masyarakat dan kebijakan politik dalam menanggapi perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini, suatu kritik ilmiah dengan demikian sekaligus berfungsi sebagai kritik sosial.

Yang menarik, masih menurut argumentasi Taufik Abdullah, semenjak era Orde Baru hingga sekarang (Era Pasca Reformasi), dimensi kedua atau fungsi ilmu sosial sebagai cabang ilmu-ilmu terapan cenderung menjadi dimensi yang dominan di Indonesia (Abdullah, 2017). Dimensi yang lain, pertama dan ketiga, nyaris tidak berkembang atau bahkan seperti sengaja diposisikan dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Konsekuensinya, progress of knowledge (dimensi pertama) dan critical discourse (dimensi kedua) ilmu-ilmu sosial pun tidak berkembang di Indonesia.

Alih-alih, ilmu-ilmu sosial di Indonesia hanya sekedar mengulang-ulang paradigma dan teori-teori Barat yang sudah mapan, taken for granted, demi mengabdi kepada kepentingan ideologis berupa “pembangunan nasional” (pada era Orde Baru) dan tuntutan “pasar proyek” global (pada era Pasca Reformasi).

Dalam tulisannya yang kemudian menjadi terkenal “The Captive Mind and Creative Development in Indigeneity and Universality in Social Science” (2004), Syed Hussein Alatas, sosiolog asal Malaysia, menyebut cara-cara berpikir a la negara berkembang ketika berhadapan dengan dunia Barat seperti yang terjadi di Indonesia ini sebagai “captive mind”, yakni “cara berpikir tidak kritis, tunduk, hanya meniru atau mengulang sumber-sumber rujukan Barat” (Alatas, 2004). Menurut Alatas, kebanyakan ilmuwan sosial dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih suka meniru dan bahkan bangga dengan paradigma, teori, serta metode penelitian Barat, dan hanya sedikit yang berani mempertanyakan apakah paradigma, teori dan metode tersebut sesuai dan bisa diterapkan di negara mereka.

Lebih jauh, dalam relasi ideologis “ilmu-negara-pasar” seperti yang berkembang dewasa ini, ilmu sosial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, rentan untuk terjerumus sekedar menjadi apa yang disebut Ignas Kleden sebagai ilmu bantu (ancillary science), yang hanya berperan melegitimasi kebijakan negara, menjalankan tugas-tugas trivial memperbaiki kerusakan masyarakat, atau menyembuhkan penyimpangan sosial sebagai ekses negatif proses-proses pembangunan (Kleden, 2017).

Tidak ada sikap kritis. Tidak ada kreativitas.

Ringkas kata, ilmu sosial di Indonesia tertawan oleh cara berpikir captive mind.

Lalu, dengan latar pikiran captive mind seperti ini tidakkah upaya melakukan pribumisasi ilmu sosial di Indonesia akan sia-sia? Tidakkah semangat membumikan ilmu sosial di Indonesia hanyalah utopia?

Semenjak tahun 1970-an, sebenarnya para ilmuwan sosial Indonesia sudah mulai gelisah dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Sejumlah ilmuwan, meskipun sedikit, terilhami oleh gerakan-gerakan indigenisasi ilmu sosial, misalnya gerakan transformative sciences di Amerika Latin, dan mulai mempertanyakan konteks sosial-budaya teori-teori Barat dan relevansinya dengan kondisi masyarakat Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan didikan Barat – misalnya Koentjaraningrat, Selo Soemardjan, Harsja W. Bachtiar, Kuntowijoyo, Parsudi Suparlan – pun telah memulai upaya “membumikan” teori-teori sosial Barat agar lebih sesuai dengan kondisi kearifan lokal masyarakat Indonesia melalui penelitian-penelitian dan buku-buku mereka.

Merujuk Daniel Dhakidae, pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial bisa dilihat sebagai aksi perlawanan negara-negara Dunia Ketiga terhadap imperialisme akademik Barat (Dhakidae, 2006). Imperialisme akademik Barat ini dengan gamblang bisa dilihat misalnya dalam klaim-klaim mengenai universalitas, obyektivitas, dan ketidakberpihakan.

Upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial dalam pengertian pertama dengan demikian adalah upaya untuk menolak yang “universal”, dan sebaliknya, menerima yang “historis.” Prinsip universalisme selalu mengklaim validitas yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Prinsip historisitas, sebaliknya, menerima perbedaan ruang dan waktu. Berbeda ruang dan waktu, maka makna dan kebenaran ilmu akan berbeda.

Upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial dalam pengertian kedua adalah upaya menolak klaim obyektivitas. Ilmu sosial tidak pernah obyektif. Sebaliknya, ia selalu terikat konteks budaya setempat, culture-bound dan culture-specific. Ilmu sosial tumbuh dan hidup dalam keterbatasan yang disadari. Keterbatasan ini bukanlah kelemahan, namun justru kekuatan ilmu sosial yang mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip subyektivitas.

Terakhir, upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial dalam pengertian ketiga adalah upaya menolak prinsip ketidakberpihakan (disinterestedness). Prinsip ini dilawan dengan prinsip “keberpihakan”, dengan alasan bahwa tidak ada ilmu apapun yang bebas nilai dan bebas kepentingan. Setiap ilmu, apalagi ilmu sosial, selalu taut-nilai dan taut-kepentingan. Persoalannya kemudian bukanlah menghilangkan kepentingan, namun justru secara sadar menunjukkan kepentingan dengan derajat keterpengaruhan tertentu dalam penelitian-penelitian ilmu sosial. Dengan demikian, hasil penelitian ilmu sosial serta merta dibatasi dan diukur berdasarkan kepentingan tersebut.

Yang harus dicatat, upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial tidak boleh lahir dari sikap xenophobia. Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian atas apapun yang berasal dari luar: orang asing, budaya asing, pemikiran asing, teori asing. Membumikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, sebaliknya, harus berangkat dari kesadaran menerima dan berinteraksi dengan dunia Barat, namun diikuti dengan sikap kritis dan memahami paradigma dan teori Barat secara kontekstual. Pribumisasi ilmu sosial di Indonesia juga tidak perlu lahir dari national narcissism.

Di era global village seperti sekarang, klaim-klaim chauvinism dan primordialism seperti ini hanya akan membuat ilmu sosial di Indonesia semakin terkucil dari pergaulan akademik internasional. Upaya membumikan ilmu sosial di Indonesia justru hanya bisa dilakukan ketika ilmuwan-ilmuwan ilmu sosial Indonesia menyadari konstelasi ideologi dan relasi kuasa dunia akademik global seraya mengambil jarak terhadap pusat-pusat kekuasaan tersebut. Hanya dengan cara demikian maka semangat pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial di Indonesia tidak berhenti hanya sebagai utopia dan akan benar-benar bisa diwujudkan.

Membumikan Ilmu Sosial di Madura: Harapan Pribumisasi Ilmu Sosial di Indonesia

Raewyn Connell seorang profesor sosiologi di University of Sydney, Australia. Kulitnya putih, dengan mata biru tua dan rambut kemerahan. Sekali tatap, orang tahu bahwa ia adalah orang “kulit putih.” Sejak tahun 1980-an Connell bekerja sebagai dosen. Sebagai dosen sosiologi di Australia, Connell, yang “Barat”, sering gelisah ketika harus membaca dan menulis berdasarkan teori-teori sosiologi yang sebagian besar lahir di Eropa dan Amerika Serikat. Lahir dan besar di Australia, Connell merasa bahwa banyak teori sosiologi yang dipelajarinya sangat bias kepentingan “Barat”.

Teori-teori sosiologi klasik misalnya, menurutnya seolah berasal dari dunia lain dan tidak berakar dalam konteks kehidupan lokal masyarakat Australia, yang berada di “Timur”.

Ia pun kemudian tergerak untuk menemukan serpihan-serpihan pemikiran dan teori-teori non-Barat. Dengan biaya sendiri ia mengelana. Ia berburu teori-teori non-Barat ke Afrika, Asia, Amerika Latin dan Australia sendiri. Hasilnya, tahun 2007, Connell menerbitkan buku hasil penelitiannya mengenai teori-teori ilmu sosial berperspektif non-Barat. Dalam buku berjudul Southern Theory: The Global Dynamics of Knowledge in Social Science (2007) itu Connell mengkritik teori-teori sosial Barat sejak era klasik hingga sekarang, dengan menunjukkan betapa teori-teori Giddens, Coleman, Bourdieu dan Habermas, misalnya, sebenarnya dikonstruksi melulu dari perspektif dunia Barat (atau global-North).

Ia kemudian juga memaparkan teori-teori sosial alternatif dari Afrika, Amerika Latin, Iran, India dan Australia dengan tokoh-tokoh seperti Paulin Hountondji, Ali Shariati, Sonia Montecino, Veena Das dan banyak lagi yang lain. “Southern Theory” atau Teori Selatan belakangan menjadi diksi simbolik perlawanan dunia akademik negara-negara non Barat terhadap imperialisme akademik dunia Barat (baca: Eropa dan Amerika Serikat).

Apa yang dilakukan Connell bisa menjadi salah satu eksemplar atau model upaya indigenisasi ilmu sosial yang bisa dilakukan oleh ilmuwan sosial di Indonesia. Mengikuti cara berpikir Taufik Abdullah, Connell telah melakukan upaya membangun sistem pengetahuan ilmiah (a system of scientific knowledge), dengan bertekun mengembangkan teori-teori sosial berbasis lokalitas.

Di Indonesia, dengan fokus yang sedikit berbeda, upaya semacam ini sebenarnya juga telah dilakukan oleh sejumlah ilmuwan. Jauh hari sebelum pengaruh teori-teori Barat masuk ke Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro, misalnya, telah mengembangkan teori pendidikan khas Indonesia yang dikenal dengan prinsip “asah, asih, asuh”, dan diterapkan di sekolah yang didirikannya, yaitu sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.

Alih-alih sekedar mengekor ajaran moralitas pendidikan Barat, Ki Hadjar Dewantoro juga memilih membangun etika pendidikan berdasarkan filosofi Jawa, yaitu “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” (di depan memberi contoh, di tengah memberi prakarsa, di belakang memberi dorongan) bagi para pendidik dan hingga kini masih banyak digunakan sebagai panutan.

Pada zaman yang berbeda, Kuntowijoyo, sejarawan dari UGM, sebagai misal yang lain, telah mencoba membangun ide ilmu sosial profetik yang berbasis prinsip transendensi, humanisasi, dan liberasi. Transendensi adalah prinsip ketuhanan yang mendasari pengembangan ilmu-ilmu sosial. Lebih lanjut, transendensi juga menjadi landasan humanisasi dan liberasi. Merujuk Kuntowijoyo, ilmu sosial seharusnya berpijak pada nilai-nilai ketuhanan yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan. Humanisasi, menurut Kuntowijoyo, adalah prinsip memanusiakan manusia. Namun berbeda dengan konsep humanisasi Barat yang berbasis pandangan antroposentrisme, humanisasi dalam ilmu sosial profetik harus berbasis teosentrisme. Upaya memanusiakan manusia dengan demikian tidak semata-mata demi kepentingan manusia, namun untuk seluruh alam. Liberasi dalam ilmu sosial profetik dimaksudkan sebagai prinsip pembebasan yang harus dimiliki oleh ilmu dan ilmuwan sosial di Indonesia. Ilmu-ilmu sosial harus memiliki semangat membebaskan masyarakat dari penindasan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Ringkasnya, bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh hidup di menara gading. Ilmu sosial harus memihak kepentingan masyarakat dimana ilmu sosial itu hidup dan dihidupi.

Dalam konteks masyarakat dan budaya Madura, upaya membumikan ilmu-ilmu sosial bisa juga dilihat misalnya dari ikhtiar-ikhtiar awal ilmuwan-ilmuwan pemerhati masyarakat dan budaya Madura. Mien Ahmad Rifai, misalnya, mencoba menelusuri pelbagai aspek lokalitas dalam kehidupan masyarakat Madura melalui bukunya Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya (2007). Ditulis nyaris tanpa merujuk teori-teori Barat, buku ini cukup berhasil membuka misteri tentang “manusia Madura” – suku bangsa terbesar ketiga di Indonesia yang selama ini, sayangnya, seringkali mendapat stigma negatif – dengan strategi pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial berbasis lokalitas ke-Indonesia-an.

Dalam buku ini, Pak Mien, begitu ia kerap dipanggil, tidak mengutip buku-buku hasil karya ilmuwan asing, namun justru memanfaatkan parebasan atau peribahasa-peribahasa Madura untuk menjelaskan jatidiri orang Madura. Ia percaya bahwa peribahasa bisa menggambarkan kondisi kebatinan masyarakat Madura dengan lebih baik.

Salah satu contoh ungkapan populer dalam kehidupan masyarakat Madura yang diangkat dalam buku ini misalnya adalah bâpa’ bâbhu’ ghuru rato (ayah, ibu, guru, raja). Ungkapan bâpa’ bâbhu’ ghuru rato adalah konsep hirarki sosial khas Madura yang tertumpu kepada kepatuhan berurutan terhadap orang tua (bâpa’ bâbhu’ atau ayah ibu), guru atau kyai (ghuru atau guru) dan pemerintah (rato atau raja). Konsep hirarki sosial seperti ini adalah salah satu contoh nyata upaya pribumisasi atau indigenisasi ilmu sosial dengan memanfaatkan ide, gagasan dan pemikiran lokal yang berasal dari Madura.

Ilmuwan sosial lain yang bertekun dalam upaya penggalian konsep-konsep lokal Madura adalah Latief Wiyata. Dalam bukunya Mencari Madura (2013), Latief Wiyata mendedah pelbagai stereotipe dan stigma keliru tentang orang Madura yang banyak berkembang di masyarakat. Alih-alih menerima begitu saja berbagai gambaran negatif tentang orang Madura, dosen dan pemerhati budaya Madura dari Universitas Jember ini mengajak kita untuk melihat lebih dalam sisi-sisi kehidupan masyarakat Madura dan mengubah pandangan kita tentang orang Madura.

Satu contoh saja, soal carok. Selama ini carok hanya dilihat dari sisi praktik dan budaya kekerasan. Orang kerap abai dengan prinsip hidup orang Madura yang sangat menjunjung tinggi harga diri pribadi dan keluarga. Di balik tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelaku carok sebenarnya tersembunyi prinsip ango’an pote tolang etembang pote mata (artinya lebih baik mati ketimbang malu), yakni prinsip menjunjung tinggi harga diri. Konsep ini, sejatinya, bisa diangkat sebagai perlawanan terhadap pemahaman teori konflik a la Barat yang semata-mata melihat kekerasan secara manifest (terlihat) dan melupakan yang latent (tidak terlihat, yakni upaya menjaga harga diri pribadi dan keluarga).

Apa yang dilakukan oleh dua ilmuwan di atas, Mien Ahmad Rifai dan Latief Wiyata, hanyalah sedikit contoh konkret upaya membumikan ilmu sosial di Indonesia, melalui kajian-kajian masyarakat dan budaya Madura. Meskipun berskala kecil dan sporadis, kajian-kajian seperti ini – dan tentu saja juga tindak lanjutnya – adalah awalan yang sangat berharga dalam upaya membumikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

Kesimpulan

Kritik soal masih minimnya kontribusi ilmu dan dan ilmuwan sosial di Indonesia selayaknya kita tanggapi secara positif, sebagai lecutan untuk meneguhkan posisi betapa pentingnya peran ilmu-ilmu sosial dalam menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa. Tidak ada perlunya berapologi, mencari-cari alasan penyebab kurangnya peran ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mulai membangun kerangka pemahaman yang sama diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) ilmu sosial di Indonesia bahwa diperlukan langkah-langkah konkret jika kita ingin agar ilmu-ilmu sosial menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Pertama, perlu upaya serius untuk memberi penghargaan tinggi atas serpihan-serpihan ide, gagasan, pemikiran dan kearifan lokal yang tersebar dalam karya-karya ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia terdahulu. Hingga saat ini boleh dikatakan tidak ada reward khusus yang diberikan kepada ilmuwan-ilmuwan sosial yang bertekun meneliti pemikiran-pemikiran lokal ke-Indonesia-an. Dengan memberikan penghargaan atas ide, gagasan dan pemikiran berbasis kearifan lokal diharapkan akan tumbuh motivasi diantara para ilmuwan sosial untuk membumikan ilmu sosial di Indonesia.

Kedua, perlu political will dari para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan di Indonesia untuk “mengangkat” hasil-hasil pemikiran ilmuwan sosial Indonesia. Meskipun tidak ada aturan tertulis, sudah bukan rahasia lagi jika jurnal-jurnal ilmiah internasional, misalnya, lebih cenderung menerima sebuah artikel yang mengutip artikel-artikel dalam jurnal yang hendak dituju, ketimbang jika sama sekali tidak mengutip artikel dari jurnal tersebut. Strategi ini tidak ada salahnya menjadi model bagi penulisan karya-karya ilmiah bidang ilmu sosial di Indonesia.

Dengan kata lain, perlu “paksaan” untuk menggunakan penelitian-penelitian berbasis pengetahuan lokal ke-Indonesia-an dalam penulisan karya-karya ilmiah ilmu sosial di Indonesia. Hanya dengan cara demikian, maka hasil-hasil pemikiran ilmuwan sosial Indonesia akan benar-benar bermanfaat bagi pengembangan body of knowledge ilmu sosial di Indonesia.

Ketiga, perlu strategi masif diseminasi ide, gagasan dan pemikiran ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia melalui kurikulum formal di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Harus diakui, kurikulum program studi ilmu-ilmu sosial di Indonesia selama ini masih sangat didominasi oleh muatan teori-teori Barat. Nyaris tidak ada tokoh atau teori sosial dari Indonesia yang dibicarakan secara khusus dalam kurikulum ilmu sosial di Indonesia.

Karenanya, perlu upaya serius untuk mulai memasukkan pemikiran tokoh-tokoh dan ilmuwan sosial asal Indonesia di dalam kurikulum pendidikan formal, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, atas maupun pendidikan tinggi. Dengan cara demikian, maka gagasan, pemikiran dan teori-teori sosial asli Indonesia akan dapat disebarluaskan dan dikenal, tidak hanya di Indonesia namun juga di manca negara.

Tanpa ketiga hal ini, niscaya upaya membumikan ilmu sosial di Indonesia – dan lebih-lebih di Madura – hanya akan berhenti sekedar sebagai angan-angan belaka.

Photo credit: Bobo.id

Catatan: tulisan ini awalnya adalah prolog untuk sebuah buku tentang indigenisasi ilmu sosial di Madura, tentu dengan penyederhanaan di sana-sini agar tulisan ini lebih enak dibaca di media blog.