Mari perhatikan sekeliling kita. Kapanpun dan dimanapun, teknologi seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di sekolah atau kampus, di pusat perbelanjaan, di tempat rekreasi atau hiburan, di kantor pemerintah, dan bahkan di tempat ibadah, teknologi hadir mengisi setiap aspek kehidupan kita.
Setiap individu akrab dengan pelbagai piranti teknologi. Nyaris setiap orang kini memiliki ponsel (telepon seluler) yang terhubung internet. Ponsel pintar (smartphone) kini tidak sekedar piranti komunikasi, namun juga piranti penyedia informasi, pengetahuan dan sekaligus hiburan.
Hanya berbekal sebuah ponsel pintar, misalnya, kini kita tidak saja bisa saling mengabarkan keadaan keluarga melalui telepon, SMS (short message service), media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain), atau video call service (Skype atau Google Hangout), namun juga bisa membaca berita melalui koran online Kompas.com atau blog Kompasiana, mengunduh artikel jurnal terbaru karya Jurgen Habermas dari Google Scholar, menonton live streaming pertandingan sepakbola PSSI U-21 atau mendengarkan rilis lagu terbaru milik Raisa melalui Youtube, memotret panorama Gunung Bromo dan membagikannya melalui media sosial Instagram, membeli baju batik murah melalui Bukalapak.com atau Shopee.com, memesan ojek online melalui Gojek, Grab atau Uber, hingga mematikan lampu ruang tamu ketika kita sedang berada di kantor menggunakan aplikasi Insteon Hub.
Perkembangan teknologi mutakhir tidak berhenti sampai disitu. Penemuan teknologi komunikasi baru (the new communication technologies) seperti fiber optics, jaringan internet pita lebar (broadband), satelit transmisi cepat (rapid satellite transmissions), virtual reality (Ruane, 2015) hingga artificial intelligence (AI) telah memampukan manusia untuk menjalani episode kehidupan yang belum pernah kita alami sebelumnya.
Tanpa perlu meninggalkan rumah, sambil duduk santai di sofa ruang tamu, misalnya, dengan bantuan kacamata VR (virtual reality) Google Glass atau Samsung Gear, kita bisa berpartisipasi dalam aksi demonstrasi virtual di Jakarta, atau melakukan virtual tour ke Keraton Solo atau Galeri Seni Affandi di Yogyakarta. Dengan bantuan robot berteknologi artificial intelligence seperti Siri atau Echo, misalnya, kita bisa menyelesaikan tugas-tugas rutin rumah tangga tanpa repot, atau bahkan melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil nir-pengemudi seperti Tesla.
Demikian halnya, teknologi keuangan baru (the new financial technologies) seperti internet banking, mobile banking, e-commerce, sistem transaksi NFC (near field communication), sistem kredit berbasis peer-to-peer lending yang menghilangkan peran bank, hingga munculnya sistem cryptocurrency seperti Bitcoin, Etherium dan Enigma telah memungkinkan manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan cara-cara baru secara lebih efektif dan efisien.
Hanya dengan berbekal sebuah ponsel pintar dan beberapa klik jemari tangan, misalnya, kini kita bisa melakukan transaksi perbankan atau membeli barang bernilai jutaan rupiah, mendonasikan uang melalui laman crowd funding seperti KickStarter.com atau KitaBisa.com, hingga berinvestasi tanpa melibatkan bank dengan bantuan sistem mata uang digital cryptocurrency seperti Bitcoin. Bersama penemuan-penemuan teknologi lainnya, teknologi keuangan baru telah mengubah cara hidup kita, manusia digital pasca-modern, secara berbeda dan revolusioner.
Kritik terhadap teknologi
Para pengkritik teknologi menyatakan bahwa perkembangan teknologi terkini telah menguasai dan bahkan mengambilalih kehidupan manusia. Sebagai pencipta teknologi, manusia kini justru menghamba kepada produk teknologi yang diciptakannya. Ungkapan umum yang sering kita dengar bahwa “manusia adalah budak teknologi”, dengan tepat menggambarkan kondisi manusia yang telah kehilangan kontrol terhadap teknologi.
Sebagai misal, seringkali tanpa sadar kita rela menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi di dunia maya (online) melalui media sosial, dan pada saat yang sama melupakan realitas nyata di sekeliling kita (Turkle, 2012). Kita kehilangan kendali atas waktu yang kita miliki sekaligus atas kehidupan yang kita jalani karena telah direnggut oleh media sosial.
Lebih jauh, teknologi komunikasi baru (the new communication technologies), terutama media sosial, dikhawatirkan akan menggantikan pola komunikasi dan interaksi sosial tradisional. Dalam model komunikasi dan interaksi sosial tradisional, pertemuan antar-individu secara intim dan hangat, dengan eye contact dan persentuhan kulit, ditakutkan akan semakin jarang terjadi dan digantikan oleh interaksi sosial artificial melalui Facebook, Twitter ataupun Instagram.
Misalnya, semakin sering kita merasa cukup pantas untuk hanya menyampaikan ucapan selamat ulang tahun, atau selamat Lebaran, kepada teman atau keluarga melalui media sosial tanpa perlu bertemu tatap muka. Para pengkritik media sosial juga menyatakan bahwa alih-alih bersifat “sosial”, media sosial justru seringkali bersifat “anti-sosial” dan mengurung para penggunanya dalam sebuah echo chamber, yang tertutup dan anti-dialog (Barbera, 2015). Dalam realitas echo chamber di media sosial, seseorang cenderung hanya mau menerima informasi dari kelompoknya sendiri dan antipati terhadap kebenaran yang disampaikan kelompok lain.
Perkembangan teknologi industri terkini juga dituduh akan mengancam banyak posisi tenaga manusia di dunia kerja. Angka pengangguran melesat karena tenaga manusia digantikan oleh teknologi robot dan mesin artificial intelligence. Laporan yang dirilis PBB pada tahun 2016, “On Financing Global Opportunity – The Learning Generation” menyatakan bahwa dengan percepatan perkembangan teknologi seperti saat ini, hingga tahun 2030, sekitar 2 miliar pegawai di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan (Khasali, 2017).
Pekerjaan-pekerjaan seperti kasir, teller perbankan, resepsionis, tukang pos, operator telepon, operator pintu tol, agen perjalanan, hingga juru parkir diperkirakan akan hilang dan digantikan oleh mesin-mesin cerdas buatan manusia. Pada saat itu, dikhawatirkan akan muncul konflik global berkaitan dengan dampak disrupsi teknologi terhadap kehidupan manusia.
Teknologi, layaknya Dewa Janus, sejatinya berwajah ganda. Teknologi bisa berdampak negatif, namun juga positif. Penelitian-penelitian ilmiah terkini tentang dampak perkembangan teknologi terhadap kehidupan sosial membuktikan bahwa “ketakutan” berlebihan akan dampak negatif teknologi justru niscaya bersifat kontraproduktif.
Janet Ruane dan Karen Cerulo dalam tulisannya Technology is Taking Over Our Lives (2015) mencoba mengurai hasil-hasil penelitian sosiologis yang menantang pandangan-pandangan negatif terhadap dampak perkembangan teknologi terkini.
Dampak positif teknologi
Salah satu dampak negatif perkembangan teknologi yang dikeluhkan para pengkritiknya adalah munculnya fenomena digital divide (pemisahan digital), yakni terbentuknya kelas sosial baru dimana mereka tidak mampu mengakses produk teknologi terbaru. Kelompok masyarakat miskin dan negara-negara miskin adalah dua unit kelas sosial yang paling terdampak fenomena digital divide. Artinya, meskipun teknologi berkembang pesat, kedua kelompok ini tetap dalam kondisi kurang beruntung dalam memanfaatkan dan mengakses teknologi terkini.
Namun demikian, sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkembangan teknologi terkini, terutama teknologi komunikasi baru (the new communication technologies) telah semakin menghapus kondisi ketidaksetaraan akses teknologi (Colley dan Maltby, 2008; Hogan dan Wellman, 2012; Muscanell dan Guadagno, 2012).
Munculnya produk-produk teknologi baru seperti internet, financial technology, artificial intelligence, dan cryptocurrency, semakin terjangkaunya harga produk teknologi, distribusi akses teknologi yang semakin terbuka (terutama karena teknologi komunikasi telepon seluler dan nir-kabel) serta dukungan berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) – negara, swasta dan masyarakat sipil – yang semakin besar, menjadi faktor pendukung terkikisnya digital divide.
Meskipun tentu saja ketidaksetaraan digital masih terjadi di sejumlah negara (terutama di Asia dan Afrika), sebagian besar penduduk dunia kini telah dapat menikmati akses teknologi dengan cukup baik.
Sejumlah penelitian terbaru juga menunjukkan dengan argumentasi kuat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, terutama penemuan media sosial, tidak serta merta menggantikan atau menghilangkan pola interaksi tradisional berbasis tatap muka fisik (direct communication), melainkan justru melengkapi pola interaksi yang sudah ada (Collins dan Wellman, 2010; Jensen, Danziger dan Venkatesh, 2007; Rainie dan Wellman, 2012).
Kehadiran Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain, ternyata tidak menghalangi keterlibatan sosial para penggunanya dalam aktivitas-aktivitas offline. Sebaliknya, kehadiran berbagai pilihan media sosial ini ternyata justru mempermudah dan menguatkan komunikasi dan interaksi sosial yang sebelumnya terhalang batas-batas ruang (jarak) dan waktu.
Penelitian-penelitian lain juga menemukan bahwa pola komunikasi online yang sering disebut sebagai mediated communication ini ternyata justru menguatkan hubungan antarindividu, baik antarteman ataupun antarkeluarga, membuka akses hubungan baru, serta membantu individu menyelesaikan masalah pribadinya (Katz dan Rice, 2009; Lai dan Gwung, 2013; Rainie dan Wellman, 2012).
Hadirnya teknologi sebagai perantara interaksi sosial ini mendorong dua orang sosiolog, yakni Karen Cerulo dan Janet Ruane, untuk mendefinisikan kembali pengertian hubungan sosial (social relations) (2015). Dalam kajian sosiologi klasik, kehadiran fisik atau tubuh menjadi salah satu syarat utama pengertian hubungan sosial. Munculnya teknologi komunikasi baru telah mengubah konsep hubungan sosial ini. Menurut Cerulo dan Ruane, kehadiran tubuh mungkin bukan lagi syarat utama terpenuhinya definisi hubungan sosial.
Alih-alih, interaksi rutin antarindividu, ikatan emosional jangka-panjang antarindividu, serta rasa saling percaya dalam interaksi sosial adalah faktor-faktor yang jauh lebih penting dalam membentuk hubungan sosial, baik online maupun offline. Temuan Cerulo dan Ruane ini semakin menguatkan dampak positif dalam kehidupan sosial kita dewasa ini.
Teknologi di masa depan
Perkembangan teknologi di masa yang akan datang dipastikan akan semakin pesat. Perusahaan-perusahaan berbasis teknologi seperti Google, Microsoft, Oracle, Cisco, Facebook atau Tesla hingga kini terus berlomba-lomba melahirkan inovasi-inovasi baru. Bukan tidak mungkin jika sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang realitas kehidupan manusia menjadi sangat berbeda dengan ditemukannya teknologi-teknologi baru.
Perdebatan mengenai dampak teknologi dalam kehidupan sosial – baik positif maupun negatif – dengan demikian akan terus bergulir. Pun perdebatan tentang peranan manusia sebagai pencipta sekaligus pengguna teknologi: apakah manusia akan mampu mengontrol perkembangan teknologi yang semakin canggih; ataukah manusia justru sekedar menjadi budak yang diperalat teknologi ciptaannya sendiri?
Interaksi antara manusia dan teknologi dipastikan akan melahirkan isu-isu baru di masa depan. Isu-isu sosial, ekonomi, budaya, etika dan politik terhadap dampak teknologi akan terus berkembang. Tidak ada yang tahu kemana teknologi akan membawa arah sejarah peradaban umat manusia. Yang bisa kita lakukan adalah selalu berusaha bersikap kritis dan meyakini prinsip kehadiran teknologi: bahwa teknologi seharusnya hadir untuk kepentingan manusia, bertujuan mempermudah kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Barbera, Pablo, et al. “Tweeting from left to right: Is online political communication more than an echo chamber?.” Psychological Science 26. 10 (2015): 1531- 1542.
Colley, A dan J. Maltby. 2008. “Impact of the Internet on our Lives: Male and Female Personal Perspectives.” in Computers in Human Behavior 24 (5):2005-13.
Collins, J dan B. Wellman. 2010. “Small Town in the Internet Society: Chapleau is No Longer an Island.” in American Behavioral Scientist 53 (9):1344-66.
Hogan, B dan B. Wellman. 2012. “The Immanent Internet Redux.” in Digital Religion, Social Media and Culture: Perspectives, Practices, Future, edited by P.H. Cheong. New York: Peter Lang.
Jensen, M, J. Danziger dan A. Venkatesh. 2007. “Civil Society and Cyber Society: The Role of the Internet in Community Associations and Democratic Politics.” in Information Society 23 (1):39-50.
Kasali, Rhenald. 2017. Disruption. Jakarta: Gramedia.
Katz, J dan R. Rice. 2009. “Technical Opinion: Falling into the Net: Main Street America Playing Games and Making Friends Online.” in Communication of the ACM 52 (9):149-50.
Lai, C dan H. Gwung. 2013. “The Effect of Gender and Internet Usage on Physical and Cyber Interpersonal Relationships.” in Computers and Education, July.
Muscanell, N dan R.E. Guadagno. 2012. “Make New Friends or Keep the Old: Gender and Personality Differences in Social Networking Use.” in Computers in Human Behavior 28 (1):107-12.
Rainie, H dan B. Wellman. 2012. Networked: The New Social Operating System. Cambridge: MIT Press.
Ruane, Janet and Karen Cerulo. 2015. Second Thoughts: Sociology Challenges Conventional Wisdom. New York: Sage.
Turkle, Sherry. 2012. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York: Basic.
Image Credit: Illinois Institute of Technology (web.iit.edu)
Catatan: Artikel ini merupakan salah satu bab dalam buku baru saya yang berjudul Dimensi Sosial Teknologi: Menimbang Teknologi Dalam Kehidupan Sehari-Hari (2018).
Leave a Reply