Skandal pencurian 87 juta data pribadi pengguna Facebook, 1 juta diantaranya adalah pengguna Facebook dari Indonesia, tiba-tiba menggegerkan dunia. Data pribadi pengguna Facebook, yang semestinya private dan rahasia, dicuri dan disalahgunakan oleh perusahaan analis data Cambridge Analytica untuk membantu pemenangan kampanye politik di sejumlah negara.
Oleh Cambridge Analytica, data pribadi pengguna Facebook digunakan untuk mendapatkan profil calon pemilih. Dengan teknologi big data dan psychographics, Cambridge Analytica kemudian memanipulasi psikologi calon pemilih agar memberikan suara sesuai pesanan klien Cambridge Analytica.
Dua kampanye politik terkenal yang ditangani Cambridge Analytica adalah kampanye Donald Trump dan kampanye keluarnya Inggris dari European Union (EU) atau yang lebih dikenal dengan istilah Brexit. Hasilnya? Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-45 dan Inggris keluar dari EU.
Pasca insiden ini, CEO Facebook Mark Zuckerberg telah meminta maaf secara publik. Ia mengakui keteledoran Facebook dalam mengamankan privacy para penggunanya dan berjanji akan memperbaiki sistem keamanan Facebook.
Sejumlah negara memanggil perwakilan Facebook untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di Indonesia, Komisi 1 DPR memanggil Ruben Hattari, Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia, untuk memberikan penjelasan skandal ini.
Dalam buku berjudul Marx in Age of Digital Capitalism (2016), Vincent Mosco telah mewanti-wanti bahwa media-media baru, seperti media sosial, telah menciptakan ekosistem baru yang sangat rawan manipulasi dan kejahatan.
Dampak ekonomi data
Skandal Cambridge Analytica boleh jadi dipicu oleh semakin berharganya data dalam kehidupan masyarakat digital. Segala sesuatu kini adalah data: data mesin pesawat terbang, data profil penonton video YouTube, data jumlah penumpang kereta komuter, hingga data perilaku pengguna toilet umum.
International Data Corporation (2016) memprediksi jumlah data yang diproduksi di seluruh dunia akan mencapai 44 zettabytes pada tahun 2020 dan 180 zettabytes pada tahun 2025. International Data Corporation juga mencatat akan ada 30 milyar media penghasil data pada tahun 2020 dan 80 milyar pada tahun 2025.
Majalah The Economist edisi Mei 2017 menyebut bahwa “The world’s most valuable resource today is no longer oil, but data.”. Lima perusahaan terbesar di dunia saat ini – Google, Amazon, Apple, Facebook dan Microsoft – adalah perusahaan-perusahaan teknologi yang bertumpu pada data.
Mengutip Zeynep Tufekci, profesor kajian sosiologi media dari University of North Carolina, perkembangan perekonomian dunia saat ini akan digerakkan oleh ekonomi data (data economy) (2018). Semakin besar data yang dimiliki, semakin tinggi nilai monetisasinya. Facebook, misalnya, menggunakan jutaan profil data penggunanya untuk mendulang keuntungan dari platform periklanan Facebook Ads.
Dengan teknologi kecerdasan buatan, Facebook mampu menciptakan teknologi iklan tertarget untuk calon konsumennya. Dengan dukungan teknologi ini, konsumen – pemilik bisnis dan kandidat politik – diuntungkan karena dapat menyebarluaskan informasi secara tertarget berdasarkan profil pribadi pengguna Facebook.
Pelanggaran privacy
Persoalan muncul ketika upaya mendapatkan data melanggar privacy atau kerahasiaan pribadi. Modus data breaching atau pencurian data yang paling jamak dilakukan adalah dengan memanfaatkan kelonggaran media sosial, yang mengizinkan pihak luar untuk mengakses data pribadi penggunanya melalui aplikasi-aplikasi pihak ketiga.
Cambridge Analytica, misalnya, menggunakan modus pencurian data ini, dengan membenamkan API (Application Programming Interface) Facebook ke dalam aplikasi ThisisYourDigitalLife buatan Aleksandr Kogan, seorang profesor psikologi dari University of Cambridge, untuk mengambil data pribadi pengguna Facebook.
Namun, mengutip Ethan Zuckerman, seorang profesor media dari MIT, persoalan resiko pelanggaran privacy yang lebih mendasar sebenarnya bersumber pada model bisnis perusahaan teknologi berbasis internet (2018).
Menurut Zuckerman, perusahaan media sosial memiliki model bisnis yang hampir sama. Mereka mengumpulkan sebanyak mungkin informasi para penggunanya: informasi pribadi pengguna, aktivitas browsing, jaringan pertemanan, tempat-tempat yang dikunjungi, status dan foto-foto yang dibagikan, jumlah “Suka” dan komentar, hingga history aktivitas belanja online para penggunanya.
Sebagai imbalan, perusahaan-perusahaan daring ini mengizinkan para pengguna layanan mereka untuk menggunakan platform atau aplikasi secara gratis.
Dengan model pertukaran seperti ini, para pengguna layanan perusahaan teknologi cenderung dalam posisi kurang menguntungkan. Pengguna media sosial seperti Facebook misalnya, tidak memiliki pilihan lain kecuali menyerahkan izin akses privacy data pribadi agar mereka dapat menggunakan layanan secara gratis.
Sementara itu, para pengguna ini tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan data pribadi mereka. Tidak ada jaminan bahwa data pribadi mereka akan dipergunakan sebagaimana mestinya, dibocorkan ke publik atau malah dicuri dan disalahgunakan seperti dalam kasus Cambridge Analytica.
Upaya pencegahan
Zuckerman (2018) menyatakan ada 3 hal yang bisa dilakukan para pemangku kepentingan (stakeholders) ekonomi data untuk mencegah berulangnya skandal Cambridge Analytica.
Pertama, mengubah model bisnis perusahaan teknologi. Caranya adalah dengan memberi pilihan lebih luas kepada para penggunanya: memberi akses privacy data pribadi untuk mendapat layanan gratis sepenuhnya, memberikan akses data pribadi sebagian untuk mendapatkan sebagian layanan secara gratis, atau tidak memberikan akses data pribadi sama sekali dan membayar layanan yang diberikan.
Kedua, membuka ruang kompetisi lebih terbuka. Caranya adalah dengan memecah perusahaan berskala raksasa menjadi unit-unit perusahaan kecil untuk mencegah praktik monopoli.
Ketiga, membuat aturan anti-monopoli data yang lebih ketat. Perusahaan-perusahaan teknologi berbasis internet tidak boleh mengunci data pribadi penggunanya dan harus mau berbagi data terutama dengan pihak lembaga pengawas data pemerintah.
Sistem ekonomi data tidak bisa dipungkiri masih akan terus berkembang pesat di masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin akan semakin banyak persoalan berkaitan dengan praktik-praktik pelanggaran privacy di masa depan.
Skandal Cambridge Analytica kiranya bisa menjadi pelajaran berharga perihal betapa pentingnya menjaga privasi data di dunia maya. Dengan melakukan upaya-upaya pencegahan pencurian data digital seperti di atas sedini mungkin, ekosistem ekonomi data, termasuk di Indonesia, diharapkan akan berkembang dengan lebih baik dan sehat di masa depan.
Medhy Aginta Hidayat
Dosen Mata Kuliah Dimensi Sosial Teknologi pada Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura, Doktor Sosiologi Universitas Missouri, USA.
Catatan: Artikel opini ini telah dimuat di harian Media Indonesia, Jum’at, 20 April 2018.
Image credit: Media Indonesia
Leave a Reply