Sejumlah aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia. Aksi teror berturut-turut terjadi di beberapa kota: pengeboman tiga gereja di Surabaya (13/5), pengeboman rumah susun di Sidoarjo (13/5), pengeboman markas Polwiltabes di Surabaya (14/5) dan penyerangan Mapolda Pekanbaru di Riau (16/5). Akibat serangan teror ini, puluhan korban tewas, baik dari masyarakat sipil, polisi maupun para pelaku teror.

Segera setelah terjadinya aksi teror di tiga kota tersebut, media sosial di Indonesia dipenuhi dengan informasi, foto dan video peristiwa aksi terorisme. Melalui kanal media sosial utama seperti Facebook, Twitter dan YouTube, berita-berita aksi teror beredar dan disebarluaskan. Selama beberapa hari, tagar-tagar #KamiTidakTakut, #BersatuLawanTeroris, #PrayforSurabaya hingga #SuroboyoWani, berlalu-lalang memenuhi linimasa Twitter.

Amplifikasi teror

Di era masyarakat digital saat ini, berbagai informasi, foto atau video dengan mudah disebarluaskan melalui media sosial. Hanya dengan berbekal ponsel yang terhubung internet, setiap pengguna media sosial kini bisa menyebarkan informasi yang dirasa menarik. Namun demikian, harus disadari bahwa penyebaran informasi melalui media sosial sejatinya laksana pisau bermata dua.

Di satu sisi, seperti dalam kasus aksi terorisme belakangan, dengan kecepatan dan daya jangkaunya, media sosial telah memberikan dampak positif dengan membantu masyarakat luas menerima informasi dengan cepat. Kabar mengenai teror bom di tiga gereja di Surabaya, misalnya, pertama kali muncul dan menyebar melalui Twitter, bukan melalui media arus utama.

Namun, di sisi lain, penyebaran informasi, foto dan video peristiwa tertentu melalui media sosial juga dapat memberikan dampak negatif. Misalnya, alih-alih membantu menyebarkan informasi tentang aksi pengeboman tiga gereja di Surabaya, para pengguna media sosial sebenarnya justru sedang “membantu” para teroris menyebarluaskan narasi ketakutan, dengan skala yang jauh lebih cepat dan luas dari yang bisa dibayangkan.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tujuan utama aksi teror adalah untuk menimbulkan rasa takut (Schmid, 1988). Aksi kekerasan, penyanderaan, pembunuhan, atau ledakan bom hanyalah alat untuk menciptakan rasa takut. Dari kacamata para pelaku aksi teror, semakin besar ketakutan yang melanda masyarakat, semakin besar pula ukuran keberhasilan sebuah aksi terorisme.

Pada titik inilah media sosial memainkan perannya. Dengan kekuatan visual media sosial yang sugestif serta daya jangkaunya yang luas, foto dan video kekerasan aksi penyanderaan, pembunuhan atau ledakan bom dalam aksi terorisme belakangan ini, misalnya, akan melekat lebih kuat di ranah kognisi kita. Akibatnya, ingatan kengerian tersebut akan semakin memperkuat rasa takut di kalangan masyarakat luas.

Laura Scaife dalam bukunya Social Networks as the New Frontier of Terrorism (2018), memaparkan bahwa media sosial dewasa ini digunakan oleh kelompok-kelompok teroris sebagai sarana utama aksi mereka. Dengan media sosial, aksi teror direncanakan, dikomunikasikan, dilaksanakan dan disebarluaskan. Dengan penuh kesadaran para pelaku teror memanfaatkan media sosial untuk membangun narasi ketakutan. Facebook, Twitter, YouTube dan Telegram adalah kanal-kanal media sosial favorit yang banyak dimanfaatkan oleh para pelaku teror untuk menciptakan amplifikasi teror.

Merujuk Scaife, amplifikasi teror adalah tindakan-tindakan yang memperkuat atau memperluas skala ketakutan akibat aksi terorisme (Scaife, 2018). Secara teoritis, amplifikasi teror melalui media sosial terjadi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, paparan informasi, foto dan video aksi teror melalui media sosial diyakini dapat melahirkan bentuk-bentuk atau taktik-taktik teror baru. Taktik bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga teroris, misalnya, diyakini merupakan perkembangan terbaru tindakan teror di Indonesia.

Sementara itu, secara kuantitatif, penyebaran informasi, foto dan video aksi teror melalui media sosial diyakini akan memperluas wilayah ketakutan serta mendorong modus teror yang sama dilakukan oleh pelaku lain dan di tempat lain. Penelitian Michael Jetter (2017) dari University of Western Australia membuktikan bahwa paparan aksi teror Al-Qaeda di media sosial ternyata berkaitan langsung dengan terjadinya serangan-serangan susulan Al-Qaeda di tempat lain. Rentetan aksi teror dengan modus meniru atau copycating seperti ini juga diyakini terjadi dalam aksi terorisme di Surabaya, Sidoarjo dan Pekanbaru baru-baru ini.

Dalam banyak kasus, proses amplifikasi teror melalui media sosial seringkali terjadi tanpa disadari. Awalnya, tujuan para pengguna media sosial adalah untuk sekedar berbagi informasi. Namun, ironisnya, tindakan membagikan informasi, foto dan video aksi teror ini justru membantu para pelaku teror untuk menyebarluaskan narasi ketakutan.

Bijak bermedia sosial

Godaan menyebarkan informasi, foto dan video aksi teror melalui media sosial, secara psikologis bisa dilihat sebagai hasrat manusiawi untuk saling berbagi. Namun, dalam kasus-kasus tertentu seperti aksi terorisme, keinginan untuk saling berbagi seyogyanya diikuti dengan sikap bijak dan hati-hati.

Jangan sampai, misalnya, niat baik untuk membantu menyebarkan informasi, atau mengabarkan sebuah peristiwa penting, justru berakibat sebaliknya: membantu para pelaku teror mencapai tujuannya untuk menyebarluaskan ketakutan.

Sebagai pengguna media sosial, berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan ketika terjadi aksi terorisme: (1) menahan diri agar tidak secara spontan menyebarkan informasi, gambar, foto, video aksi terorisme; (2) mengambil waktu sejenak untuk berpikir jernih dan bertanya: apakah materi yang kita bagikan akan berdampak baik, atau malah sebaliknya?; (3) menyebarkan informasi hanya dari sumber yang kredibel dan terpercaya; serta (4) mengirimkan informasi, foto dan video aksi teror yang sensitif hanya kepada lembaga pemerintah atau aparat kepolisian.

Dengan bersikap bijak dan hati-hati ketika menyebarkan informasi aksi terorisme melalui media sosial, sejatinya kita telah turut serta dalam gerakan melawan aksi terorisme, dengan cara yang paling sederhana: menghentikan penyebaran narasi ketakutan.

Medhy Aginta Hidayat

Dosen Mata Kuliah Dimensi Sosial Teknologi pada Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura, Doktor Sosiologi Universitas Missouri, USA.

Catatan: Artikel opini ini telah dimuat di harian Media Indonesia, Sabtu, 19 Mei 2018.

Image credit: Media Indonesia