Menimbang Internet

Internet

“Bagi mahasiswa biasa-biasa seperti kami, Wikipedia adalah penemuan terbesar abad ke-21. Wikipedia adalah dewa penolong kami untuk lulus ….”

Begitu gurau Anthony Corvino, wisudawan sarjana ilmu politik, dalam pidato wisuda di Binghamton University, New York. Pidato satir dan dipenuhi tawa itu berjudul “Average is the New Exceptional.” Dalam pidato itu Corvino mengolok-olok bagaimana internet, terutama Wikipedia, telah sangat banyak membantu mahasiswa rata-rata seperti dirinya hingga bisa menjadi sarjana.

Ya, dengan bantuan Wikipedia, Corvino menyindir sambil seolah menertawawakan dirinya sendiri, tugas perkuliahannya menjadi lebih mudah dikerjakan. Cukup copy dan paste artikel dari Wikipedia, tugas selesai. Ketimbang membaca buku cetak yang tebal, susah dipahami, dan membosankan, tutur Corvino, kebanyakan mahasiwa kini lebih suka membaca Wikipedia — yang lebih gampang dipahami, ringkas, to the point, gratis, meskipun dangkal.

Bagi Corvino, dan banyak mahasiswa lain, mesin pencari Google barangkali juga dianggap sebagai penemuan terbesar abad ke-21. Dengan mesin pencari Google, mencari artikel akademik kini begitu mudah dilakukan. Cukup klik klik, dan “Voila!” Sederetan artikel yang siap disalin muncul di halaman hasil pencarian Google. Di tangan yang salah, Google — dan internet — kemudian menjadi sarana sempurna praktik plagiasi. Ya, ironisnya, praktik plagiasi semakin menjadi justru ketika kita semakin mudah mendapatkan informasi melalui internet.

Merujuk Marshall McLuhan, seorang teoritisi media, internet tidak cuma merevolusi cara kita memperoleh pengetahuan. Internet juga mengubah cara kita berpikir. Di mata McLuhan, media – termasuk internet – bukanlah saluran informasi yang pasif. Ia bukan cuma alat. Alih-alih, media ikut membentuk proses berpikir dan bertindak. Sebuah kisah terkenal menggambarkan bagaimana media mempengaruhi cara berpikir dan mengerjakan sesuatu.

Pada tahun 1882, filsuf kenamaan Jerman, Friedrich Nietzsche, yang selalu menulis dengan tangan, membeli sebuah mesin ketik. Mereknya Malling-Hansen. Ia terpaksa membeli mesin ketik karena pandangan matanya mulai kabur. Setelah terbiasa menggunakan mesin ketik, Nietzsche bisa mengetik dengan mata tertutup, hanya dengan mengandalkan ujung jari-jarinya. Yang menarik, seperti dituturkan sejarawan media Friedrich Kittler, penggunaan mesin ketik ternyata telah mengubah gaya tulisan Nietzsche. Gaya prosa Nietzsche yang terkenal berubah “dari argumentatif ke aforisme, dari perenungan ke permainan kata-kata, dari retorik ke telegramik.”

Dalam bukunya yang laris, The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains? (2010), kritikus media Nicholas Carr juga menulis dengan meyakinkan bagaimana internet telah mengubah cara kita membaca. Alih-alih membaca dengan tuntas, Carr menjelaskan, kini kita terbiasa membaca dengan cepat. Scanning dan skimming.

Kita kini juga lebih menyukai artikel pendek ketimbang artikel panjang dan lebih senang beralih-alih topik: dari artikel politik ke ekonomi, ke hiburan, ke sastra, ke olahraga, dan seterusnya. Loncat-loncat. Carr juga mencatat betapa ringkasan artikel, yang kini sering kita temukan di laman berita, telah menjadi sesuatu yang sangat kita butuhkan. Ia menjadi pemandu. Ia adalah pemberi perintah. Dan tanpa ringkasan artikel, serta merta kita kebingungan.

Apa yang disampaikan Carr senada dengan hasil sejumlah penemuan ilmiah tentang dampak internet terhadap otak dan kemampuan berpikir manusia. Dua orang ilmuwan neuro-science, Michael Merzenich dan Eric Kandel, menyatakan bahwa internet dapat merubah cara bekerja sistem syaraf kita. Ini terjadi karena kebiasaan baru menggunakan internet, untuk menemukan, menyimpan, dan membagikan informasi, secara perlahan-lahan turut mengubah pola kebiasaan sistem syaraf kita.

Penelitian lain oleh sejumlah psikolog Cornell University juga mengungkapkan bahwa penggunaan internet dapat mempengaruhi kemampuan berpikir. Dalam penelitian ini, sebuah kelas dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diperbolehkan menggunakan laptop untuk mengakses internet selama kuliah berlangsung. Kelompok kedua diharuskan mematikan laptop selama kuliah berlangsung.

Setelah kuliah selesai, semua mahasiswa diminta mengerjakan tes yang mengukur seberapa baik mereka mengingat isi kuliah. Mahasiswa yang diperbolehkan membuka laptop ketika perkuliahan berlangsung ternyata mendapatkan hasil tes yang buruk, tidak peduli meskipun mereka membuka situs yang berkaitan dengan topik perkuliahan.

Penelitian media oleh sejumlah ilmuwan di University of California, Los Angeles (UCLA) juga menemukan bahwa seseorang yang terbiasa membaca teks dengan hyperlink, yang sering kita temukan di dunia maya, cenderung memiliki pemahaman yang lebih buruk ketimbang mereka yang membaca teks tradisional, seperti di dalam buku cetak. Pasalnya, setiap link di internet berpotensi menjadi pemecah konsentrasi. Kebiasaan membaca secara online, dengan banyak hyperlink, pada gilirannya mendorong seseorang untuk sulit berkonsentrasi dan sulit mendapatkan pemahaman secara utuh.

Internet, atau “teknologi pikiran” – sebuah istilah yang dibuat oleh sosiolog Daniel Bell untuk merujuk pada alat-alat yang memperluas kemampuan mental ketimbang kemampuan fisik – memang bisa menjadi kawan atau lawan. Ia menjadi kawan yang baik ketika kita bijak menggunakannya. Internet menawarkan kesempatan terbuka, bahkan tak terbatas, untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan.

Namun internet juga bisa menjadi lawan. Ia menjadi lawan ketika penggunaannya justru menjadi kontra-kreatif, dogmatik, membuat kita pasif, malas berpikir, dan suka mencari jalan pintas.

Photo credit: Thinglink.com

← Previous post

Next post →

2 Comments

  1. Nice article mas medhy mahasiswaku kelihatannya pandai tapi hanya disurfacenya mungkin karena itu salah satu penyebabnya

Leave a Reply

Read more:
Ironi Dramaturgi Korupsi

Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan penangkapan Menteri Sosial...

Close