TAHUN 2012: Korea menang besar.
Korean wave, gelombang budaya pop Korea, menyebar tidak cuma di Asia, namun juga di seluruh dunia. Boy band dan girl band Korea, film Korea dan fashion Korea tiba-tiba menjadi trend setter. Semua ingin bergaya ala Super Junior, Rain atau SNSD. Puncak kemenangan budaya pop Korea di tahun 2012 ditandai dengan tampilnya video klip Gangnam Style milik rapper Korea, Psy, sebagai video yang paling banyak ditonton sepanjang masa di Youtube dengan 1 milyar views.
Mendadak semua mencintai Korea. Korea menjadi kiblat selera baru.
“Kenapa suka Korean music?”
“Kenapa ya? Emmm, asyik aja, sih. Gaya mereka keren. Pakaiannya, nyanyinya, narinya. Ini soal selera juga. Ini selera gue. Selera orang mungkin beda. Mungkin ada yang nggak suka boy band Korea. Atau malah antipati. Ya nggak papalah. Yang namanya selera nggak bisa dipaksain. Nggak harus sama.”
Pertanyaan yang sama bisa diajukan untuk soal berbeda: kenapa suka musik dangdut, kenapa suka makanan Italia, kenapa suka film Bollywood, kenapa suka baca Kompas, kenapa suka Yoga, kenapa suka drama Korea, kenapa suka lukisan Salvador Dali, kenapa suka rumah minimalis, kenapa suka nonton resital piano?
Ini soal selera.
Kebanyakan orang menerima selera sebagai sesuatu yang personal, individual, privat, subyektif: sepenuhnya pilihan pribadi. Selera adalah preferensi yang semata-mata didasari oleh kepentingan pribadi.
Benarkah?
Bourdieu punya pendapat berbeda. Bourdieu, nama lengkapnya Pierre Felix Bourdieu. Ia sosiolog, antropolog dan filsuf Perancis. Namanya melambung karena pemikiran-pemikirannya bernas dan orisinal.
Menurut Bourdieu, selera bukanlah sesuatu yang alamiah. Ia bukan “pilihan” bebas. Ia bukan “hak” prerogatif individu. Selera, urai Bourdieu, adalah produk konstruksi sosial yang dibentuk, terutama, melalui pendidikan dan pengasuhan. Selera, lebih jauh, juga berfungsi sebagai penanda status sosial.
Buku Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979), yang ditulis Bourdieu, menjelaskan bagaimana selera dibentuk secara sosial dan sekaligus menjadi “pembeda” status sosial.
Ini buku keren dan enak dibaca. Tebalnya tidak main-main: 613 halaman. Ia termasuk 10 buku sosiologi paling berpengaruh pada abad ke-20 menurut International Sociological Association. Bourdieu memanfaatkan ratusan hasil survei, wawancara, foto dan field note. Data penelitian terentang panjang sejak 1963 hingga 1976. Respondennya banyak: 1217 orang. Hasilnya: sebuah buku yang brillian.
Bourdieu menggunakan data survei dan kemudian menganalisisnya secara kualitatif. Di tangan Bourdieu, eloknya, data statistik yang membosankan dan “kering” seolah bisa berbicara, “hidup” dan mengungkapkan realitas sosial secara menarik. Bourdieu mengungkap makna dibalik pilihan jenis musik, gaya berpakaian, film, makanan, majalah, furnitur, mobil, lukisan, rekreasi, bacaan, sekolah, klub pertemanan, olahraga hingga partai politik, untuk memahami selera.
Metode penelitian yang ia gunakan pun menarik.
Sambil menggabungkan dua metode, kualitatif dan kuantitatif, Bourdieu melandaskan sebagian besar analisisnya dari data survei. Bukan penelitian lapangan.
Ia juga inovatif dalam mencari data.
Dalam salah satu bagian penelitiannya, Bourdieu menampilkan sejumlah foto: foto pemandangan, foto tabrakan mobil, foto gadis kecil bermain, foto perempuan hamil, foto perempuan menyusui, foto matahari terbit di pantai, foto ular, foto laki-laki terluka (1979: 36). Ia kemudian meminta respondennya untuk menjawab pertanyaan: “Manakah foto yang indah, menarik, tak bermakna atau buruk?” Dari jawaban yang diberikan, oleh responden dari kelas pekerja, kelas menengah dan kelas atas, Bourdieu melihat bagaimana pilihan selera atas sebuah foto dipengaruhi oleh latar belakang kelas sosial seseorang.
Pada bagian lain penelitiannya ia menyodorkan satu foto yang sama: foto tangan seorang perempuan tua. Foto itu sengaja di-crop, tanpa kepala. Selanjutnya Bourdieu meminta respondennya untuk memberi komentar. Tanggapan terhadap foto yang sama, ternyata menghasilkan komentar yang berbeda. Selera yang berbeda.
Bourdieu “membaca” ribuan angka-angka hasil survei dengan gemi nastiti, hemat cermat, tanpa harus berbuih-buih, seraya tetap bersikap reflektif dan sadar atas posisinya sebagai peneliti. Metode penelitian Bourdieu ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan “reflective sociology.”
Berbasis data survei, Bourdieu sampai pada kesimpulan mengejutkan. Menurutnya, selera dibentuk nyaris di luar kontrol individu, bergerak di bawah level kesadaran dan bahasa melalui relasi antara habitus, kapital, dan field. Habitus adalah seperangkat persepsi, pikiran dan tindakan yang diperoleh melalui a way of being, a habitual state, yang ia sebut “disposition” (1977: 214). Disposisi menjadi semacam kecenderungan, tendensi, seseorang. Habitus terutama dibentuk melalui proses pendidikan dan pengasuhan. Ia juga dipengaruhi asal usul keluarga dan kelas sosial. Habitus, di satu sisi, urai Bourdieu, merupakan struktur pembentuk tindakan, yang menentukan pilihan selera. Di sisi lain, habitus juga merupakan struktur yang dibentuk oleh pilihan selera seseorang. Dengan kata lain, perbedaan habitus membedakan selera dan sekaligus menguatkan selera.
Selain habitus, selera juga dipengaruhi jumlah dan komposisi kapital. Kapital, berbeda dengan Karl Marx, bagi Bourdieu tidak hanya merujuk semata pada kapital ekonomi (modal atau uang). Bagi Bourdieu, kapital bisa berupa kapital budaya (pendidikan, kecerdasan, cara berbicara, gaya berpakaian, penampilan fisik), kapital sosial (jaringan, teman, kolega, klub) dan kapital simbolik (lukisan, gelar, titel, medali, penghargaan). Selera, ujar Bourdieu, dipengaruhi oleh seberapa besar kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik yang dimiliki seseorang, dan bagaimana komposisi keempat kapital tersebut. Seseorang yang hanya memiliki sedikit kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial dan kapital simbolik (kelas pekerja), misalnya, memiliki selera yang berbeda dengan seseorang yang memiliki lebih banyak kapital dengan komposisi yang lengkap (kelas pemilik modal).
Selera juga dipengaruhi oleh field atau arena sosial. Arena sosial adalah latar atau setting dimana posisi sosial seseorang berada. Arena sosial tercipta melalui proses interaksi antara habitus dan kapital yang dimiliki individu. Mengikuti Max Weber, Bourdieu menolak pandangan Marxisme tradisional yang melihat masyarakat secara dikotomis hirarkis, berdasarkan status kelas (berbasis ekonomi kepemilikan): kelas borjuis versus proletar. Bourdieu lebih memilih memakai istilah class fraction, untuk menjelaskan bagaimana kelas-kelas di dalam masyarakat, bahkan dalam satu kelas sosial yang sama, saling bermanuver dalam arena sosial untuk saling menguasai. Arena sosial yang berbeda menciptakan pilihan selera yang berbeda pula.
Mengikuti Bourdieu, berlawanan dengan pandangan kebanyakan orang, selera bukanlah sesuatu yang dipilih secara “bebas.” Ia bukan sesuatu yang personal, individual, privat, subyektif. Selera terhadap segala yang berbau Korea, selera terhadap film India, selera terhadap makanan organik, selera terhadap film indie, selera terhadap sepakbola, golf atau memancing, dan selera terhadap apapun, simpul Bourdieu, selalu merupakan produk interaksi antara habitus, kapital dan arena sosial tertentu.
Selera “dibentuk”, alih-alih diterima. Ia produk interaksi dan konstruksi sosial, alih-alih produk preferensi individu. Ia menjadi penanda orientasi sosial, “a sense of one’s place”, alih-alih petunjuk orientasi pribadi.
Photo credit: Wikipedia.org
Keven
Wah berat juga ya bahasannya. Jaman gua SD-SMP dulu, yg lagi booming tuh drama-drama Taiwan kayak Meteor Garden, otomatis kita jadi suka dengerin lagu-lagu Mandarin. Jaman SMP-SMA, gua ngalamin masa di mana Jepang-Jepangan lagi booming. Sampe jaman gua ngeband, gua nyanyiinnya lagu2 Laruku dan X-Japan hehehe.
Sekarang jamannya Korea-Koreaan, terus terang gua bukan penggemar artis atau girlband Korea sih, tapi ada beberapa film Korea yg bagus yg gua tonton hehehe. Gangnam Style boomingnya parah banget tuh, tahun 2012 waktu gua sekolah di China, setiap ada event di sekolah atau mall, pasti ada aja yg joget Gangnam Style wkwkwk
Medhy Aginta Hidayat
Hehehe. Korean Wave memang harus diakui “kehebatannya”, Mas Keven. 🙂