Bumi pertiwi bertubi-tubi dihempas bencana. Belum usai kesedihan mendalam akibat gempa di Lombok, Palu dan Donggala, terjadi bencana kecelakaan jatuhnya pesawat Lion Air JT610 rute Jakarta-Pangkal Pinang (29/10/2018). Hingga hari ini, badan pesawat berpenumpang 189 orang yang jatuh di Tanjung Karawang, Jabar, tersebut belum juga ditemukan, meskipun serpihan-serpihan badan pesawat telah diidentifikasi oleh Badan SAR Nasional (Basarnas).

Segera setelah terjadinya kecelakaan pesawat Lion Air, media sosial di Indonesia dipenuhi oleh berbagai informasi, foto dan video jatuhnya pesawat tersebut. Melalui kanal media sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube, berita-berita tentang jatuhnya pesawat Lion Air disebarluaskan. Tagar #PrayforJT610 pun berlalu-lalang mendominasi linimasa media sosial, terutama Facebook dan Twitter.

Medsos di tengah bencana

Dengan karakteristiknya yang unik – realtime, berbasis-pengguna, egaliter, berdaya jangkau luas dan interaktif – media sosial sebenarnya dapat berperan positif dalam peristiwa bencana. Setidaknya terdapat tiga peranan penting media sosial ketika terjadi bencana.

Pertama, sebagai kanal informasi alternatif. Dibanding media konvensional lainnya – koran, radio, televisi – media sosial seringkali menjadi sumber informasi pertama ketika terjadi bencana. Facebook, misalnya, akan mengaktifkan fitur informasi keselamatan Save Check yang menyebarkan informasi awal manakala terjadi bencana. Selain itu, pasca bencana, media sosial juga terbukti efektif sebagai kanal penyebarluasan informasi bagi keluarga korban, pemerintah dan masyarakat umum.   

Kedua, sebagai media komunikasi cepat-tanggap. Dalam situasi bencana yang serba kacau, media sosial juga banyak dimanfaatkan sebagai media komunikasi darurat. Sifat media sosial yang interaktif dan user-generated, memungkinkan para penggunanya untuk dapat mengirimkan pesan (teks, gambar maupun video), mendiskusikan dan menindaklanjuti informasi bencana. 

Ketiga, sebagai media volunteerism. Ketika terjadi bencana, tidak hanya pemerintah yang mengambil inisiatif penanganan korban. Dalam situasi seperti inilah media sosial memainkan peranan, yakni sebagai ruang berkumpulnya para relawan. Kelompok-kelompok relawan, misalnya, dapat memanfaatkan fitur-fitur Facebook untuk membentuk grup relawan, mengorganisir event atau bahkan menghimpun donasi bagi para korban bencana.      

Media sosial, harus diakui, bisa sangat bermanfaat dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana. Namun, di balik peranan penting yang bisa dimainkannya, muncul satu persoalan pelik: bagaimana memastikan kebenaran informasi bencana yang menyebar melalui media sosial? Bagaimana jika informasi itu adalah hoaks?  

Melawan hoaks bencana

Karakter media sosial yang nyaris tanpa sensor – tanpa mekanisme moderasi dan penyuntingan – memang menjadi celah penyebaran informasi palsu atau hoaks. Dalam peristiwa kecelakaan pesawat Lion Air JT610, misalnya, tersebar video dan foto-foto hoaks mengenai detik-detik jatuhnya pesawat tersebut.

Jika dibiarkan, hoaks yang tersebar di tengah-tengah situasi bencana seperti ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan kekacauan dalam skala yang lebih luas. Upaya menangkal hoaks di tengah bencana seyogyanya tidak semata dilakukan oleh pemerintah. Para pengguna media sosial pun harus terlibat aktif dalam upaya meredam penyebarluasan hoaks di tengah situasi bencana.

Pertama, pengguna media sosial harus berusaha menahan diri agar tidak serta merta tergoda dan menyebarkan informasi, gambar, foto, atau video bencana. Sikap kritis diperlukan ketika membaca informasi bencana melalui media sosial. Jika tidak berasal dari media arus utama, sebaiknya dilakukan double-check untuk memastikan kebenaran informasi bencana.

Kedua, mengambil waktu sejenak untuk berpikir jernih dan bertanya: apakah informasi yang hendak kita bagikan akan berdampak baik, atau malah sebaliknya? Bukan tidak mungkin, niat baik untuk menyampaikan informasi tentang bencana, justru ternyata malah membantu para produsen hoaks dalam menciptakan kepanikan dan kekacauan sosial.

Ketiga, hanya mengambil dan menyebarkan informasi dari sumber media arus utama yang kredibel dan terpercaya. Dalam realitas media sosial, siapapun berhak memproduksi informasi. Kebenaran bisa jadi bukan tujuan utama. Dalam situasi demikian, pengguna media sosial benar-benar dituntut untuk pandai memilah-milah informasi yang berdasarkan fakta dan bukan informasi palsu.   

Dengan bersikap bijak dan hati-hati ketika menyebarkan informasi bencana melalui media sosial, sejatinya kita telah turut membantu upaya penanganan bencana dengan cara yang paling sederhana: menghentikan penyebaran informasi palsu atau hoaks bencana.

Medhy Aginta Hidayat
Dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura.

Image credit: Media Indonesia