Profesor Lo seorang lelaki paruh baya. Ia keturunan Asia. Perawakannya sedang, dengan kulit kuning, rambut lurus yang sudah memutih dan mata sipit. Setiap Rabu malam, dari jam enam sampai jam sembilan, ia mengampu kelas seminar Theoretical Thinking in Sociology untuk mahasiswa pasca sarjana. Setiap minggu selama satu semester penuh ia selalu hadir tepat waktu, menemani kami belajar di sebuah ruangan kecil yang hangat di Middlebush Hall, Universitas Missouri.
Di dalam ruangan kecil tersebut terdapat meja oval dengan kursi-kursi beludru berwarna coklat di sekelilingnya. Tiga lukisan abstrak kontemporer menempel di dinding. Entah karya siapa. Lukisan-lukisan ini sempat menjadi contoh menarik ketika kami memperdebatkan teori Pierre Bourdieu tentang gaya hidup dan “selera.”
Di dinding bagian depan ruangan terdapat whiteboard dan layar LCD yang bisa dinaik-turunkan. Di belakang, terdapat heater pemanas ruangan dan kotak sampah kering.
Hanya sepuluh mahasiswa doktoral yang mengambil kelas ini. Sembilan American. Satu Asian. Saya. Diantara kami bersepuluh, tiga orang mengambil studi doktoral tanpa punya gelar master. Dari S-1 (sarjana) langsung S-3 (doktoral).
Dan ini dimungkinkan di Amerika.
Kelas kami hangat dan akrab. Mungkin karena ukuran kelas kami yang kecil. Mungkin juga karena cara belajar kami yang unik. Setiap minggu, misalnya, kami bergantian memasak dan membawa makanan untuk disantap bersama di dalam kelas. Ya, dinner setiap Rabu malam kami lakukan di dalam kelas. Maklum, jadwal kelas ini memang memotong waktu makan malam. Jam tujuh malam kami rehat, selama tiga puluh menit, untuk makan. Menu makan malam berganti-ganti. Paling sering makanan Western. Sesekali makanan Asian dan Mediterranean. Jam setengah delapan malam, kelas berlanjut. Beberapa teman biasa menyimak diskusi masih sambil makan. Yang lain sambil menyeruput teh atau kopi hangat. Hingga jam sembilan malam kami berdiskusi, sambil sesekali bercanda, menyelesaikan bacaan mingguan.
Setiap minggu Dr. Lo memberikan daftar buku bacaan teori sosiologi. Semuanya buku-buku babon. Klasik hingga postmodern. Karl Marx. Max Weber. Emile Durkheim. Karl Polanyi. Sigmund Freud. Erving Goffman. WEB Du Bois. Jurgen Habermas. Pierre Bourdieu. Judith Butler. Setiap minggu bergantian kami memaparkan hasil bacaan setiap buku. Setiap minggu pula kami harus menulis paper dengan topik yang telah ditentukan. Topiknya beragam. Seringkali harus mengaitkan beberapa teori yang sudah kami baca sebelumnya.
Dr. Lo memandu kelas dengan santai. Kadang ia berdiri di depan agar semua bisa mendengar apa yang ingin ia sampaikan. Kadang cuma duduk dan mendengarkan kami berdiskusi. Kadang ia menulis di whiteboard sekedar untuk membantu kami memahami bacaan yang sulit. Karl Marx, misalnya, menjadi momok bacaan yang sulit. Suatu saat, kami bahkan harus membaca kata demi kata salah satu paragraf dalam buku Marx dan berusaha memahami maknanya. Itupun seringkali berakhir tanpa kesepakatan. Kami saling berbeda kesimpulan tentang apa yang ditulis Marx di dalam bukunya.
Di waktu yang lain, Dr. Lo duduk dan memanfaatkan LCD. Tapi Power Point tak pernah dipakai. LCD hanya dipakai untuk menayangkan gambar atau video. Biasanya lukisan atau potret atau film mengenai zaman ketika penulis tertentu sedang kami diskusikan. Dr. Lo ingin agar kami menangkap “semangat” zaman ketika teori tertentu lahir. “Semangat zaman,” konteks sejarah, harus diakui, memang begitu penting untuk memahami dunia sosial.
Suatu saat kami mendengarkan “pidato” kuno Sigmund Freud dalam bahasa Inggris. Ya, hanya suara, tanpa gambar. Freud berbicara tentang psikoanalisis di salah satu kampus di Inggris. Bahasa Inggrisnya medok dengan logat Jerman yang kental. Tempo bicaranya sangat pelan. Saya baru tahu jika, konon kabarnya, Freud memang malas berpidato jika dalam bahasa Inggris. Ia lebih suka berbicara dalam bahasa ibunya, Jerman.
Dr. Lo juga memanfaatkan e-learning yang disediakan kampus. Namanya Blackboard. Setiap minggu kami bisa mengirimkan paper, mengecek komentar dan melihat nilai paper mingguan secara online melalui Blackboard. Kami juga biasa berdiskusi, secara online, disana.
Dr. Lo pribadi yang menyenangkan. Supel. Santai. Terbuka. Egaliter. Suasana belajar di kelas layaknya seperti mengobrol bersama teman. Di dalam kelas, kami tidak memanggilnya dengan sebutan Profesor atau Doktor. Kami memanggilnya “Clarence.” Itu nama depannya.
Pun tak ada pemimpin diskusi ketika kami mengupas bacaan di kelas yang diampunya. Semua boleh berbicara. Bahkan menyela. Tidak perlu mengangkat tangan untuk menyampaikan pendapat. Boleh langsung menyerobot masuk di tengah-tengah perdebatan. Kadang kami serius. Saling ngotot. Kadang kami bercanda. Sesekali terdengar tawa berkepanjangan. Robin, salah satu dari kami, dengan cepat menjadi pusat perhatian karena suara tawanya yang aneh dan lepas.
Tapi kami menikmatinya.
Selama berdiskusi, pendapat apapun boleh disampaikan. Tidak harus “benar.” Tidak juga harus “yakin” dengan apa yang kami katakan. Suatu saat, seperti (sekali lagi) ketika membaca buku Karl Marx, kami cuma meraba-raba. Ungkapan seperti, “I really don’t know ….” I’m not really sure, but I’ll say ….” adalah sesuatu yang biasa terdengar. Kali lain bahkan kami bisa mengoreksi pendapat sendiri yang telanjur terucap. “Well, okay. Now I change my mind ….” Atau mengakui salah: “Yes, I’m wrong ….” “It’s better to get it that way ….”
Ragu-ragu. Menebak-nebak. Salah. Keliru.
Semua biasa. Semua boleh. Yang dikedepankan adalah proses berpikir, proses menemukan jawaban meskipun dengan jalan yang berbeda-beda.
Selama empat belas minggu kami belajar seperti ini. Kami “mengobrol” dan “bercanda” bersama Marx, Weber, Durkheim, Polanyi, Freud, Goffman, Habermas, Du Bois, Bourdieu dan Butler layaknya teman. Di ruangan kecil yang hangat, sambil menikmati dinner dan secangkir teh, lambat laun kami semakin mengenal mereka.
Mereka teman-teman yang menyenangkan.
Photo credit: Blinkutopia.com
Moh. Fatoni
pengaturan metode pembelajaran dr bacaan ini tampak menyenangkan bagi saya. terbayangkan pula, saya mengikuti diskusi seperti itu, dalam kelas kecil, topik yg telah dispekati, serta suasana yg tidak monoton. dari kebanyakan kelas kuliah yg sering saya ikuti, metode demikian hanya terjadi saat kerja kelompok dan jarang terjadi di dalam kelas.
that’s interesting for me.
Medhy Aginta Hidayat
Benar, Mas Fatoni. Metode ini sayangnya kurang bisa diterapkan untuk kelas besar.
MOH. FATONI
mau tanya pak, apakah benar di tahun ajaran semester genap nanti akan mengajar lagi di Sosiologi Univ. trunojoyo?
sepertinya bakalan seru metode tersebut diselipkan di beberapa mata kuliah dengan penyesuaian karena tiap kelas >30 orang.
#selalu saya tunggu tulisan terbarunya pak.